Sistem harus memiliki Umpan Balik

Di berbagai workshop dan seminar yang saya ikuti, saya sering mendengar bahwa sebuah institusi mengklaim telah menciptakan sebuah sistem ini, sistem itu, yang lebih baik dari sebelumnya. Ada juga yang mengklam bahwa sebelumnya tidak ada sistemnya, sehingga sekarang dengan adanya sistem yang baru dirancang maka akan lebih tertata dst.

Namun yang menarik buat saya dari konsep, rancangan, atau akhirnya di implementasi, sistem tersebut tidak memuat adanya sub-sistem umpan balik. Umpan balik adalah sub-sistem yang seringkali lupa merupakan bagian penting dan memang seharusnya ada dalam sistem. Definisi sistem klasik adalah input proses output umpan-balik. Sehingga ketika sebuah klaim sistem dilakukan, namun ternyata tidak memiliki sub-sistem umpan balik, maka seharusnya tidak bisa diklaim sebagai sistem

Lanjutkan membaca “Sistem harus memiliki Umpan Balik”

Bounded Rationality – Rasionalitas Terbatas dalam Pengambilan Keputusan

Bounded Rationality atau Rasionalitas Terbatas adalah sebuah konsep dalam pengambilan keputusan bahwa kemampuan manusia memiliki keterbatasan dalam mendapatkan dan mengolah informasi. Ini akibat keterbatasan kognitif manusia dan waktu yang tersedia dalam mengambil keputusan. Kemampuan kognitif didefinisikan secara sederhana sebagai kemampuan memproses informasi untuk memiliki makna yang akan membantu proses pengambilan keputusan. Kemampuan ini akan tergantung dari kesehatan fisik, mental, pengetahuan dan pengalaman. Ketika anda lelah secara fisik maka pengambilan keputusan kompleks biasanya menjadi terasa lebih berat, sehingga disarankan untuk menunda mengambil keputusan.

Bounded rationality memberikan rem kuat terhadap konsep ideal dalam pengambilan keputusan tentang informasi lengkap dan sempurna akan menghasilkan keputusan sempurna. Dalam sebuah permasalahan kompleks, informasi lengkap akan menimbulkan timbunan informasi yang luar biasa sehingga pada akhirnya manusia tidak akan sanggup untuk mengolahnya. Secara sederhana, jika anda diminta untuk mengingat sarapan apa pada 249 hari yang lalu, apakah anda mengingatnya? Ini berarti ada keterbatasan dalam kemampuan manusia sehingga banyak informasi yang tidak relevan secara otomatis seperti dihilangkan dari otak kita.

Ini mengapa jika anda berdiskusi dengan orang lain, anda bisa saja seperti berhadapan dengan tembok yg tidak mau bergeser, karena sebenarnya anda berhadapan dengan batasan rasionalitas dari orang tersebut. Anda juga disarankan tidak mengambil keputusan strategis ketika emosional, lelah, kaget atau dalam situasi dimana rationalitas anda menjadi berkurang.

Bounded rationality membuat pengambil keputusan seperti menjustifikasi pengambilan keputusan yang kurang dari ideal dengan memberikan alasan atau konteks yang dianggap benar dan menjadi pengekang dari target ideal. Dan yang seru adalah logika alasan ini akan terlihat masuk akal atau dikenal logis. Padahal belum tentu sama masuk akal bagi anda atau bagi orang kebanyakan namun tetap masuk akal. Karena memang kata masuk akal sendiri kan berarti tergantung akal siapa yg digunakan. Logika juga sama, tergantung logika apa yang dipakai. Sehingga sebenarnya pendidikan formal itu mencoba menguatkan logika bersama universal yg bisa menjamin kemajuan umat manusia. Loh kok jadi kemana-mana, mari kembali ke bounded rationality.

Jadi apa yang sebenarnya kenapa kita perlu memahami bounded rationality? Karena jika anda ingin berdiskusi, mengubah pendapat orang lain, atau tidak baper dalam berkomunikasi, maka perlu disadari bahwa anda dan lawan komunikasi anda bisa jadi memiliki rasionalitas berbeda, sehingga jika hal yang didiskusikan penting, maka anda perlu berstrategi untuk melakukan komunikasi.

Anda harus menyeimbangkan antara bertanya dan berpendapat untuk saling melihat struktur logika rasionalitas anda dan lawan bicara dalam proses dialog secara seimbang. Sering melakukan konfirmasi apakah apa yang anda pahami dari logika dia adalah sesuai dengan yg dimaksud (hindari dulu benar salah). Tawarkan rasionalitas anda kepada lawan bicara dan minta pendapatnya.

Apakah akan selalu sukses? tentu tidak, ini juga yang menjadi aspek dalam bounded rationality, karena keterbatasan yang timbul biasanya terjadi karena sejarah panjang kehidupan lawan bicara kita. Sederhananya yaa sudah diusahakan, berikutnya yaa tinggal didoakan untuk mau berubah.

Evidence Based Policy Making

 Evidence Based Policy Making (EBPM) atau Pengambilan Kebijakan berbasis Bukti/Fakta merupakan sebuah proses pengambilan kebijakan yang berbasis kepada bukti. Ini merupakan lawan dari pengambilan kebijakan yang hanya berlandaskan kepada preferensi pribadi yang cenderung emosional, berjangka pendek, berbasis pengalaman lampau, apalagi hanya untuk menyenangkan atasan.

Indonesia memang masih harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan, dengan berbagai ketidaktepatan kebijakan yang telah kita buat dimasa lampau. Namun bekerja keras tanpa ada tujuan yang jelas dengan basis asumsi masa lampau yang tidak tepat, akan membuat kita salah arah dan juga berpeluang membuat kesalahan baru. Kesalahan baru yang berbeda dari kesalahan yang telah dibuat, yang akhirnya menjebak diri kita ke sebuah pusaran tanda akhir membuat kesalahan kebijakan.

Sebagai contoh konsep sasaran yang ingin dicapai dalam kebijakan, para pengambil kebijakan sering lupa bahwa konsep sasaran tidaklah statis, tapi dinamis tergantung perubahan yang terjadi. Sebagai contoh ketika terjadi diskusi di Universitas Indonesia untuk mengejar ketertinggalan publikasi internasional dibandingkan negara tetangga, timbul optimisme bahwa secara trend kita akan mengalahkan saingan terdekat kami di regional Asia. Namun, optimisme itu menjadi berkurang, ketika diskusi mengarah, bukankah di universitas pesaing akan melihat posisi kita yang mengejar, sehingga bereaksi pula untuk meningkatkan publikasinya pula. Inilah yang disebut “Dynamic Moving Target” atau sasaran bergerak.

The best will be copied by the next best, and some copies will be better than the original.

Sehingga inovasi harus terus dikembangkan dan rasa nyaman terhadap status quo harus selalu secara rutin digoyang untuk berkreasi. Biasanya ketika dipaksa berubah, maka manusia akan melawan balik dengan berbagai cara untuk membatalkan perubahan. Cara yang terbaik adalah berbasis kepada fakta. Jika sebuah diskusi perdebatan berlandaskan kepada fakta, maka lebih mudah mengarahkan perubahan. Karena fakta memiliki kekuatan yaitu sulit didebat dibandingkan asumsi maupun emosi. Ketika fakta lingkungan berubah maka kita juga harus mengubah strategi antisipasinya.

Disinilah letak EBPM.

Lanjutkan membaca “Evidence Based Policy Making”

Memberikan Perhatian lebih kepada Makna dari Nilai

Nilai yang berasal dari kata Value, merupakan sebuah kata yang penting bagi perekayasa industri untuk keluar dari cara pandang lama untuk menuju ke cara pandang sistem yang lebih utuh.

Bagi mahasiswa Teknik Industri, kata nilai biasanya dikenalkan di kuliah pengantar teknik industri atau kuliah pengendalian kualitas. Nilai secara umum didefinisikan sebagai perbandingan antara harga dan kualitas. Jika harga sama namun kualitas meningkat, maka nilai meningkat. Atau sebalikanya jika harga turun namun kualitas tetap sama maka nilai meningkat. Simplifikasi yang sangat sederhana ini tidak salah, bahkan tepat, namun jika fokus pendidikan teknik industri ke arah desain, maka fokus kepada kedua hal ini saja tidak akan mendorong kita mendesain lebih kreatif. Seolah-olah satu-satunya cara untuk meningkatkan kualitas adalah dengan efisiensi biaya, yang masuk ke ranah operasi, bukan ke arah desain.

Jadi apa yang dibutuhkan? Pemahaman yang lebih terhadap definisi nilai

Lanjutkan membaca “Memberikan Perhatian lebih kepada Makna dari Nilai”

Berpikir Sistem: Mari melihat struktur, tidak pada kejadian semata

“tidak bisa move on”, “tagih janji”, “tidak akan sama”, “ini salah itu..”, “mari rasional” adalah hal-hal yang saya sering baca pada berbagai status media sosial teman-teman saya seiring dengan alur drama pilkada DKI Jakarta yang ternyata masih berlanjut kelihatannya )seperti layaknya sinetron yang laris yang mencapai 10 musim).
Namun yang menarik, di harian ternama dan terbesar di negeri ini, berita tentang rancangan perubahan pemilu legislatif menempati halaman ke 3 sedangkan berita tentang pilkada masih mendominasi dihalaman pertama. Padahal apa yang kita dapatkan pada kejadian hari ini adalah berasal dari berbagai struktur yang secara langsung atau tidak langsung kita setujui bersama di masa lalu. Kita kan setuju bahwa kita memilih demokrasi sebagai cara untuk memilih pemimpin. Bahwa ketika ternyata pemimpinnya bukan yang kita inginkan, kita mau ngomong bahwa kita dulu nggak setuju demokrasi, kenapa dulu nggak ngomong waktu reformasi bahwa kita lebih suka orde baru.
Saya sih suka melihat semangat teman-teman saya dari semua kubu untuk mendukung, dan saya berharap semangat ini tetap berlanjut untuk mendorong perubahan yang lebih baik di negara kita. Mari disalurkan semangat anda ke mendorong perubahan struktur, supaya kejadian yang anda rasakan dan menurut anda tidak benar bisa diperbaiki pada akarnya. Apa yang saya maksud dengan struktur? yaitu peraturan perundang-undangan.
Bagaimana regulasi harus diubah supaya pilkada tidak menjadi seperti trah keluarga, bagaimana caranya supaya pemerintahan bisa lebih transparan, sudahkah anda mengirimkan karangan bunga ke DPR yang lagi seru sama KPK, sudahkah anda memberikan pengertian ke masyarakat untuk melihat bahwa hal ini bisa terjadi karena kita tidak mendorong perubahan struktur, bahwa pekerjaan seorang pemimpin yang baik dan pada alurnya perlu dibentengi oleh struktur sehingga tidak terganggu, dst.

Untuk pertama kalinya kan di Indonesia ada gerakan massa yang tidak dimotori mahasiswa, dan bisa terjadi secara spontan dan relatif damai. Jadi jika anda kecewa, gembira, apatis dsb terhadap apa yang terjadi pada kejadian yang lebih sementara dan jangka pendek ini, maka mari kita mulai menggunakan energi kita untuk bergerak obyektif untuk membenahi struktur yang lebih permanen dan jangka panjang.
Kejadian yang terjadi saat ini adalah merupakan hal yang kita setujui di masa lalu, dan kejadian masa depan yang masih bisa berubah bisa kita mulai saat ini.

Catatan kecil:

Sebenarnya saya sempat berjanji kepada diri sendiri untuk menghindari berkomentar dan berartikel tentang pikada DKI Jakarta, karena melihat kok semuanya susah yaa melepaskan diri dari pelabelan cepat bahwa ini pendukung situ, itu pendukung sini dst., lalu dari label itu kita seperti tidak ada habisnya harus berdiskusi tanpa kedua belah pihak mau untuk mengubah pandangannya dari apa yang didapatkan dari diskusi tersebut. Ketika sebuah diskusi menjadi seperti ini, yaa bangsa kita punya istilah unik soal ini, namanya debat kusir. Saya sih masih mencari kenapa kok istilahnya debat kusir… apakah pernah terjadi debat antar 2 kusir delman, antara kusir dan penumpang, antara kusir dan penyeberang jalan atau bagaimana asal muasal istilah “debat kusir”. Ada yang tahu?

Kompleksitas Baru akibat Media Sosial: Pahami Konteks

Ketidakpastian adalah sebuah kondisi yang tidak menyenangkan. Ketidakpastian juga membuat permasalahan menjadi kompleks dan sulit dalam mengambil sebuah keputusan.

Biasanya sesuatu hal menjadi tidak pasti karena terbatasnya informasi yang kita miliki. Namun yang menarik dalam dewasa ini ketidakpastian malah timbul dengan semakin banyaknya informasi yang mengalir melalui saluran media sosial.

Artikel ini merupakan bagian dari 3 artikel yang mencoba melihat bagaimana prinsip sistem bisa digunakan untuk mengatasi hal ini. Pemerintah telah menuju arah yang tepat, namun sayangnya metode dan cara yang dilakukan terlalu berorientasi pada jangka pendek, padahal permasalahan kompleks membutuhkan solusi jangka panjang.

Menggunakan prinsip dan pemahaman tentang sistem, maka beberapa hal yang dapat anda lakukan dalam kacamata berpikir sistem:

  1. Pahami konteks
  2. Hentikan Aliran Informasi Negatif
  3. Perkuat Struktur yang Baik

 

Pahami konteks

Konteks dibangun oleh kesementaraan. Kesementaraan dibangun oleh dimensi dimana permasalahan timbul, apakah dimensi geografis ruang permasalahan, dimensi waktu (masa kini, lampau dan depan), dimensi kepentingan (berdasarkan aktor) dan dimensi skala (sedetail apa anda melihat permasalahannya). Setiap permasalahan pasti memiliki konteks yang multi-dimensi.

Seringkali konteks tidak mudah kita pahami karena penyebab bisa berbeda ruang dan waktu terhadap masalahnya. Banjir di Jakarta, akibat hujan lebat di daerah lain dan butuh waktu 3 jam untuk sampai di Jakarta. Genangan di Jakarta, akibat sampah di drainase yang menumpuk akibat buang sampah sembarangan di musim kemarau dan yang membuang berada di Hulu sungai, sedangkan genangan timbul di hilir.

Konteks juga berlaku untuk akibat, apa yang anda putuskan dan lakukan akan mempengaruhi konteks. Ketika kita meneruskan berita yang tidak sepenuhnya kita analisa kebenaran, sumber dan dampaknya, maka kita menciptakan konteks dari permasalahan kepada teman-teman kita. Jika proses ini berulang kepada yang lain, maka teman kita membaca berita tersebut akan berpikir bahwa lho ternyata teman-teman saya kok mikir seperti ini, terciptalah efek bola salju yang bisa berbahaya.

Bagi anda yang perenang, melawan arus lebih melelahkan daripada mengikuti arus. Terkadang anda bahkan hanya perlu mengembangkan saja. Namun mengikuti arus berarti anda melepaskan pilihan, dan berarti pula anda setuju dengan muara arus tersebut. Ketika Anda setuju, yaa berarti jangan protes ketika hasilnya tidak sesuai yang anda harapkan. Tapi saya maunya sebenarnya cuma itu, tapi ada tambahan hal negatif ini itu yang tidak saya mau. Lha ya memangnya ada di dunia ini yang se ideal sorga? Tanggung jawab dari setiap keputusan adalah sebuah kedewasaan berpikir. Mungkin itu mengapa kok Gus Dur pernah bilang Taman Kanak-kanak untuk politisi Indonesia.

Jadi Pahami Konteks, Putuskan apakah anda ingin terbawa arus atau tidak, SADARI semua keputusan anda memiliki dampak walaupun kecil terdapat sistem yang lebih besar

Pentingnya Ukuran

Tahu kata “kepentingan”? Kita tahu itu berarti berasal dari penting, yang bisa diartikan ukuran nilai atau bobot yang kita persepsikan terhadap sesuatu. Dalam sebuah diskusi, biasanya akan saling terjadi diskusi kepentingan, apa yang kita anggap penting – kita ingin juga dianggap penting oleh lawan diskusi kita, demikian pula sebaliknya. Artinya ketika kita berdiskusi, sebenarnya kita bernegosiasi tentang tingkatan skala penting milik kita supaya diadopsi oleh rekan diskusi.

Saya ingin mundur sedikit lebih kebelakang. Penting menandakan adanya ukuran. Ukuran merupakan tolok ukur kita melakukan evaluasi dan penilaian. Kepentingan berarti tergantung dengan ukuran. Perdebatan diskusi sering terjadi karena perbedaan ukuran yang mengakibatkan perbedaan kepentingan.

Dalam wacana politik, hal ini lebih seru lagi. Ukuran menjadi lebih membingungkan karena seolah-olah tidak ada ukuran universal yang disepakati bersama. Seorang pemimpin pemerintahan diserang karena dari sisi ukuran penyerapan anggarannya yang sangat parah. Artinya uang pemerintah yang mengalir ke masyarakat akan berkurang, sehingga ekonomi tentu tidak maksimal. Dahulu ini dosa besar yang memalukan bagi seorang pemimpin pemerintah. Namun saat ini ada ukuran baru seolah-olah timbul, yaitu persepsi korupsi. Daripada diserap penuh, tapi dikorupsi, lebih baik tidak terserap. Apakah yakin yang sudah diserap juga bebas korupsi? Tapi kembali ke topik artikel ini, adalah soal beda ukuran.

Mari kita telaah beda ukuran ke dalam 3 hal:

1. Yang diukur beda (.. termasuk persepsi terhadap definisi ukuran)
2. Ranking ukuran yang beda
3. Skala ukuran beda Lanjutkan membaca “Pentingnya Ukuran”