Sistem harus memiliki Umpan Balik

Di berbagai workshop dan seminar yang saya ikuti, saya sering mendengar bahwa sebuah institusi mengklaim telah menciptakan sebuah sistem ini, sistem itu, yang lebih baik dari sebelumnya. Ada juga yang mengklam bahwa sebelumnya tidak ada sistemnya, sehingga sekarang dengan adanya sistem yang baru dirancang maka akan lebih tertata dst.

Namun yang menarik buat saya dari konsep, rancangan, atau akhirnya di implementasi, sistem tersebut tidak memuat adanya sub-sistem umpan balik. Umpan balik adalah sub-sistem yang seringkali lupa merupakan bagian penting dan memang seharusnya ada dalam sistem. Definisi sistem klasik adalah input proses output umpan-balik. Sehingga ketika sebuah klaim sistem dilakukan, namun ternyata tidak memiliki sub-sistem umpan balik, maka seharusnya tidak bisa diklaim sebagai sistem

Lanjutkan membaca “Sistem harus memiliki Umpan Balik”

Emergence (Kemunculan) dan Iterasi dalam Berpikir Sistem

EUREKA! EUREKA! adalah kata yang diteriakkan oleh ilmuwan yunani kuno Archimedes ketika akan mandi lalu muncul pemahaman ketika memperhatikan ketika memasukkan badannya kedalam bak mandi perubahan ketinggian air setara dengan massa badan yang dimasukkan kedalam air. Jika kaki, maka naik sekian, badan naik sekian, seluruh tubuh, naik hingga tumpah dsb. Ide ini telah menjadi sebuah Hukum Archimedes telah menjadi fondasi berbagai aplikasinya contohnya pembuatan kapal modern.

Momen Eureka! sering dicari-cari ketika seseorang mendapat ide dan pemahaman baru terhadap apa yang dipikirkannya. Didalam berpikir sistem, Eureka! adalah sebuah fenomena emergence, yang di bahasa Indonesia dialihbahasakan menjadi kemunculan/munculnya/timbulnya. (catatan: alih bahasa berbeda dengan penterjemahan)

Emergence Jika dikontekstualisasi dalam berpikir sistem dapat didefinisikan sebagai munculnya pemahaman yang menyeluruh terhadap kompleksitas akibat kesisteman suatu permasalahan yang berbeda dari pemahaman awal atau umum yang biasa didapatkan tanpa memandang permasalahan sistem. Panjang ya definisinya. Karena memang kita sering terjebak dalam pemahaman pertama dari sebuah permasalahan, padahal pemahaman pertama tersebut biasanya tidak utuh atau tidak menyentuh akar permasalahan yang harus diselesaikan.

Photo by Brett Jordan on Unsplash

Di kelas Magister Teknik Industri UI, saya mengilustrasikan hal ini dengan menyajikan video youtube tentang optical illusions, lalu berdiskusi pertama bagaimana mata kita sebenarnya melihat dengan bantuan otak kita ketika ingin memahami apa yang ingin kita lihat. Sehingga apa yang kita lihat pertama, tergantung dari apa yang otak kita biasa temui atau proses. Kita perlu menahan pengambilan kesimpulan pertama untuk mencari perspektif lain yang bisa timbul. Berbagai perspektif yang berbeda akan menhasilkan kesimpulan yang berbeda-beda yang biasanya memiliki unsur pembenaran yang bisa dipahami. Pemahaman perbedaan bisa menjadi modal awal untuk memulai proses penguraian masalah untuk mencari solusi sistem terbaik.

Iterasi adalah aktivitas/proses dalam berpikir sistem untuk mencari kemunculan (emergence).

Lanjutkan membaca “Emergence (Kemunculan) dan Iterasi dalam Berpikir Sistem”

Kemana para prediksiawan dan prediksiawati COVID-19?

Masih ingatkah kita ketika para pakar, politikus, para pemimpin Indonesia dan dunia, di tahun lalu, mencoba memprediksi kapan COVID-19 berakhir? Misalnya ada di berita ini, ini atau ini. Beberapa waktu ini kok tidak terdengar kembali para P3 ini melakukan prediksi kembali, padahal tahun lalu begitu yakinnya dikeluarkan dengan mengunakan model-model matematika yang rumit. Bahkan tahun lalu seperti sebuah kompetisi ketika para kampus-kampus besar di Indonesia seperti berlomba-lomba mengeluarkan prediksinya.

All Models are Wrong, but some are useful (George Box) adalah sebuah kredo bagi para modeler ketika menyusun, menganalisa, menginterpretasikan dan menjelaskan hasil simulasi modelnya, terutama jika harus dijelaskan ke publik yang awam. Modeler sebagai ilmuwan memiliki kewajiban untuk menjaga supaya hasil temuannya tidak disalahartikan baik oleh publik atau awak media yang menjadi corong ke publik. Sudah sering terjadi sebuah hasil penelitian secara tidak sengaja, namun lebih sering pula dengan sengaja dibelokartikan untuk kepentingan politik maupun ekonomi. Dalam ekonomi digital, strategi untuk menaikkan click-bait dengan memberikan judul-judul bombastis sudah menjadi kebiasaan dewasa ini.

Berbasis kredo diatas, jadi apa saja yang membuat semua prediksi ini gagal?

Lanjutkan membaca “Kemana para prediksiawan dan prediksiawati COVID-19?”

Mengubah Pola Berpikir menjadi Berpikir Sistem dengan pendekatan berbasis Model

Pada tanggal 27 Maret 2021, saya dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Universitas Indonesia di Bidang Teknik Industri. Acara ini disiarkan secara online mempertimbangkan pandemi yang masih berlangsung. Didalam pidato pengukuhan saya, saya menyoroti sebuah cara mendefinisikan berpikir sistem yang berbeda dari definisi saat ini yang menggunakan (a) membedakan pola berpikir biasa dan pola berpikir sistem dengan ciri-ciri pembedanya dan (b) kombinasi dari teknik berpikir logis, kritis dan lain. Saya menyoroti bagaimana jika berpikir sistem bisa menggunakan definisi berpikir dan sistem, lalu dengan menggunakan cara pandang terhadap pola yaitu sebagai kerangka kerja.

Pendekatan ini saya beri nama Model-Based Systems Thinking. Konsep ini saya kenalkan video pidato pengukuhan saya dapat ditonton di youtube dan saya letakkan embedded di dalam halaman blog dibawah ini.

Video Pidato Pengukuhan GB Akhmad Hidayatno

Pidato online hanya membolehkan waktu pidato selama 15 menit, sehingga mohon maaf jika dalam video diatas terkesan sangat singkat. Saya juga lampirkan naskah pidato yang mungkin anda tertarik untuk membacanya. Secara materi saya mengembangkan Model-Based Systems Thinking sebagai sebagai softside dari Dukungan Model terhadap Proses Penguraian Masalah pada kompleksitas yang timbul pada Skala Mikro dan Skala Makro. Skala mikro adalah pengambilan keputusan Model-Based Decision Making dan Skala makro adalah pengambilan kebijakan atau Model-Based Policy Making.

Pemodelan Pandemic: Kebutuhan Ilustrasi atau Kebijakan

Image by congerdesign from Pixabay

Dalam beberapa waktu terakhir, banyak diskusi yang timbul dan menyinggung mengapa kok lab kami tidak menyusun model yang bisa membantu memprediksi berbagai macam dampak kebijakan dari pencegahan pandemic corvid-19, seperti lock-down, pembatasan, social distancing dsb di Indonesia. Kami sudah berdiskusi berat tentang hal ini yang mempertimbangkan beberapa hal berikut:

  1. berbagai kemungkinan pertanyaan kebijakan terhadap dampak (apakah berat di sisi ekonomi, epidemiologis, dst)
  2. alternatif jawaban awal dari pertanyaan kebijakan sebagai tujuan dari model
  3. pendekatan pemodelan, simulasi dan skenario yang bisa dilakukan (heuristik, stochastic, system dynamics dan agent based modeling),
  4. kebutuhan data akurat dan tervalidasi untuk membangun model tersebut,
  5. kebutuhan asumsi logis untuk mengisi ketidak-tersediaan data (yang merupakan masalah pemodelan klasik di Indonesia),
  6. siapa saja pakar yang seharusnya bergabung didalam tim pemodelan karena ini mencakup masalah urbanisasi, epidemiologis, manajemen rumah sakit (kapasitas penyembuhan), politik, ekonomi, industri kesehatan dan pakar-pakar lainnya.
  7. waktu pengembangan untuk menghasilkan model yang purposeful menjawab pertanyaan kebijakan tersebut,

Tentunya para rekan yang meminta, juga menunjukkan berbagai model “ilustrasi” yang diberikan di berbagai media yang menurut mereka seharusnya kami bisa menyusunnya dalam konteks Indonesia. Tentunya kami bisa, namun model-model tersebut adalah model ilustrasi, yaitu sebuah model berbasis kepada data dan asumsi umum dengan tujuan mengedukasi, bukan untuk menjawab kebutuhan kebijakan. Sebuah model untuk menjawab kebutuhan kebijakan tidak hanya berdasarkan edukasi, namun juga harus berdasarkan data yang kuat. Mengapa? Karena seharusnya, sebuah kebijakan diambil berdasarkan asumsi logis dan data yang timbul, jangan karena politik dan emosi.

Lanjutkan membaca “Pemodelan Pandemic: Kebutuhan Ilustrasi atau Kebijakan”

Rebutan Bendera dan Nasib Para Perancang

Ketika memulai mengumpulkan pengalaman sebagai konsultan, terutama konsultan di pemerintahan, saya mendapatkan nasehat berharga dari guru saya tentang Bendera. Sebelum saya ceritakan maksud utama tulisan ini, maka kita lihat dulu fungsi utama Bendera.

Bendera adalah sebuah alat untuk menarik perhatian. Bendera suatu negara, bendera organisasi, atau bendera suatu acara, adalah untuk menarik perhatian orang yang melihatnya. Bendera yang berkibar membuat seseorang secara otomatis tertarik perhatiannya mencari makna terhadap tentang simbol yang diletakkan di bendera.

Orang yang mengkibar-kibar bendera juga ingin supaya benderanya dilihat sehingga walaupun melelahkan, tapi tetap ada mau melakukannya. Mengapa? Karena yang ikut memegang bendera, ikut terlihat, sehingga secara otomatis ikut “ngetop”. Jadi sering di acara-acara organisasi timbul situasi rebutan Bendera, untuk mengkibas-kibaskannya, karena berarti akan menjadi pusat perhatian dan bisa tersebar di sosial media juga.

Jika bendera dirancang oleh seorang perancang, apakah dia akan ikut ngetop ketika Benderanya dikibarkan orang lain? Tentu tidak. Tidak ada yang akan bertanya, eh siapa yang merancang bendera ya? perhatian pasti akan tertuju kepada yang mengibarkan bendera, bukan yang merancangnya. (Pengecualian mungkin kepada bendera negara, yang memang ada cerita nasionalisme yang mengiringi perancangan bendera negara)

Sebagai konsultan, kita sering bertindak sebagai perancang sistem. Dan seperti kasus bendera, seorang perancang sangat jarang mendapatkan pangakuan terhadap produknya. Seorang perancang sudah pasti dilupakan, walaupun apa yang dia rancang telah memiliki manfaat yang luas bagi pengguna rancangannya.

Jadi nasehat dari guru adalah ikhlas terhadap bendera, supaya rancangan kita bisa akhirnya dijalankan. Artinya jangan merasa untuk menunda berkarya hanya karena kita tidak suka orang lain mengklaim hasil kerja keras kita. Apalagi jika karya kita bisa menyentuh masyarakat banyak. Proyek proyek infrastruktur yang biasanya berjangka panjang, seperti MRT Jakarta contohnya, yang bekerja keras untuk menyusun pola pembiayaan dan administrasi proyeknya pasti tidak disorot dibandingkan yang menekan tombol mulai proyek atau tombol mulai beroperasinya MRT Jakarta. Padahal tanpa jaminan pembiayaan kan tidak akan berjalan proyeknya.

Nasehat lain adalah memanfaatkan kebutuhan akan membawa bendera. Kan menyenangkan yaa membawa karya orang lain sebagai hasil kerja kita, padahal bukan kita yang membuatnya. Jadi supaya kerja kita lancar ketika merancang, kita sudah menawarkan bahwa silahkan ketika sudah jadi, orang lain saja yang mengibarkan benderanya, asalkan anda mendukung atau paling tidak membiarkan tidak mengganggu pekerjaan perancangan.

Itulah pentingnya paham soal bendera