Kurva Belajar (Learning Curve) dalam Politik

Fenomena kurva belajar ternyata tidak saja ditemukan di teknik industri, namun juga ternyata berlaku pada masa transisi pergantian pimpinan daerah yang merupakan ranah politik. Di teknik industri, kurva belajar diajarkan pada kuliah faktor manusia, untuk memberikan pemahaman bahwa setiap produk baru akan membutuhkan waktu sebelum tingkat produktivitas akan menyamai produk lama. Produk baru akan membutuhkan penyesuaian dari operator lapangan untuk mempelajari peletakan, urutan operasi, apa yang perlu diperhatikan dan sebagainya. Perekayasa industri harus menyiapkan diri terhadap penurunan ini termasuk mencari cara agar kurva belajar berlaku dengan lebih cepat daripada kompetitor.

Pergantian gubernur di tempat saya tinggal sarat pula dengan fenomena kurva belajar. Dan saya yakin ini akan menjadi sebuah pembelajaran bagi masyarakat jakarta tentang dampak dari pergantian pimpinan dan lebih arif ketika mendengarkan janji-janji para calon yang tampil.
Lanjutkan membaca “Kurva Belajar (Learning Curve) dalam Politik”

Refleksi 10 Tahun Menjadi Pendidik Teknik Industri

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan penghargaan kesetiaan dari pemerintah karena telah bekerja selama 10 tahun lebih. Asisten dan mahasiswa banyak yang memberikan selamat kepada saya dan bertanya apa kesan saya menjadi pendidik Teknik Industri. Saya sempat bingung menjawabnya karena tidak pernah memikirkan akan harus menjawab pertanyaan ini, namun beberapa hari yang lalu saya menyadari apa jawaban dari pertanyaan ini, ketika saya sibuk menyusun bahan presentasi untuk kuliah di kelas simulasi industri.

Jawabannya adalah: Saya mencintai pekerjaan sebagai pendidik teknik industri karena saya tidak bisa berhenti belajar.

Jawaban ini saya dapatkan karena saya baru sadar bahwa hingga saat ini tidak ada hari dimana saya tidak harus merevisi materi untuk mengajar dan saya bisa membuka kuliah-kuliah pilihan baru (yang berarti kerja keras lagi menyiapkan materi dan presentasi). Suatu pekerjaan yang mungkin tidak menyenangkan karena ngapain capek-capek bikin materi, lebih mudah dengan kasih buku ke mahasiswa, suruh baca, kerjain kuis dan tugas, kemudian ujian. Namun bagi saya, jika sebuah kuliah sudah memiliki buku ajar baku, dan tanpa tambahan update dari jurnal, kuliah tersebut pasti tidak akan membahas hal-hal baru. Tanpa membahas hal-hal baru, maka saya tidak belajar. Jika dosen tidak belajar hal baru, apalagi mahasiswanya.

Teknik Industri adalah keilmuan yang inklusif. Inklusif berarti lawan kata dari eksklusif. Inklusif memberi makna bahwa teknik industri akan terus mencari dan mengadopsi pendekatan dan metode baru yang dapat membantu perekayasa industri mendapatkan kenaikan efisiensi dan efektivitas hingga tetes terakhir. Saya masih ingat ketika TI pada masa akhir 90-an mengadopsi Balanced Scorecard, sebagai tambahan cara pengukuran kinerja yang secara tradisional hanya bertumpu pada produktivitias.  Adopsi proses AHP (analytical hierarchy process) sebagai proses pengambilan keputusan juga dilakukan. Dorongan teknologi informasi juga dimanfaatkan oleh TI untuk melakukan integrasi antar bagian dalam paket aplikasi ERP (Enterprise Resource Planning). Evolusi manajemen kualitas dari SPC (Statistical Process Control), ke SQC (Statistical Quality Control), QI (Quality Improvement), TQM (Total Quality Management) kemudian Operational Excellence, dari QCC (Quality Control Circles) ke Lean Six Sigma.

Kita juga mengadopsi konsep simulasi dan pemodelan karena kemampuan prediksi kinerja dari sistem yang telah kita rancang, dan berkembang hingga kini. Dimulai dari Discrete Event Modeling, dengan ProModel sebagai aplikasi “populer” di TI Indonesia, bergerak ke Continuous Event Modeling melalui pendekatan sistem dinamis, kemudian ke arah object oriented modeling hingga ke agent based modeling. Pada pemodelan matematis dengan dasar-dasar riset operasional menjadi saat ini menjadi meta-heuristics programming dan combinatorial programming.

Bidang perancangan yang berevolusi menjadi Innovation Engineering, terintegrasi secara penuh secara digital sejak produk, proses, pabrik dan antar pabrik. Membahas pula aspek teknologi dan strategi, akan menjadi sangat menarik.

I am excited on what new things I will learn in the future … what’s next?

Perspektif Korupsi di Teknik Industri sebagai Waste dalam Lean Thinking

Ketika saya sedang membangun model sistem dinamis pembangunan berkelanjutan untuk Indonesia, ada satu konstanta yang secara elegan diberi nama “budget effectiveness”, yang dihubungkan dengan variabel government spending (belanja pemerintah). Penterjemahan lapangan dari konstanta ini adalah “korupsi”. Tentunya dalam disertasi saya setelah dipertimbangkan dengan seksama akhirnya diputuskan untuk menghilangkan seluruh aspek politik sehingga nilai konstanta yang saya berikan adalah 100%, namun dalam prosesnya saya bertanya-tanya berapa nilai seharusnya yaa apakah 80% (20% korupsi), 75%, 70%, dan 60%. (Jadi ingat masa-masa jadi konsultan pemerintah, yang ternyata berbeda-beda, tidak ada konsensus nasional).

Sebagai Perekayasa Industri, saya menjadi tertarik untuk apakah memungkinkan melihat korupsi dalam kacamata kita, dan sementara ini kacamata yang cocok adalah kacamata ilmu lean thinking (lean management) dengan memandang korupsi sebagai waste. Lean adalah sebuah pola pikir untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi proses sehingga didapatkan aliran yang paling efisien untuk memberikan nilai yang diharapkan oleh pelanggan akhir. Karena berbasis pada pelanggan, maka proses yang dilakukan secara tidak langsung akan efektif. Jadi efisien dan efektif sebagai tujuan akhir perekayasa industri secara bersamaan dapat dicapai.

Nah kalau sebuah korupsi adalah waste, maka apakah dalam tools dan methods yang digunakan dalam lean ada yang bisa dipakai untuk mengatasinya?

Lanjutkan membaca “Perspektif Korupsi di Teknik Industri sebagai Waste dalam Lean Thinking”

ESEMKA proves that technical challenges is relatively easy than industrial challenges

Mengikuti heboh mobil nasional yang sedang terjadi saat ini, menarik melihat berbagai macam pandangan dan harapan yang timbul akibat “kerinduan” akan produk dalam negeri. Kerinduan ini dipicu oleh kenapa negara tetangga atau agak tetangga (korea/jepang) berhasil mengembangkan industrinya, walaupun jangan lupa tetangga lain (australia) malah menutup pabrikan mobilnya (masih ingat  mobil merk Holden?).

Apa artinya? technical challenges is relatively easy than industrial challenges

Tanpa bermaksud mengurangi antusiasme yang menggebu-gebu dari politik dan media, sehingga mungkin berkesan tidak tahu diri, tidak mendukung karya dan inisiatif yang bagus, dst. Saya pribadi sangat menghargai usaha para profesional keteknikan yang berhasil membangun kompetensi yang cocok dengan kebutuhan industri.

Itu mungkin yang membuat para perekayasa industri (industrial engineers) malah tidak banyak suara, karena bingung gimana ngasih tahunya bahwa tidak mudah membangun industri, dibandingkan membuat mobil saja. Takut nanti kalau ngasih tahu, diprotes: kok malah tidak mendukung sih?

Lanjutkan membaca “ESEMKA proves that technical challenges is relatively easy than industrial challenges”

Lebaran dan Perekayasa Industri

Lebaran sebagai sebuah event tahunan merupakan hal yang sangat menarik dalam kacamata perekayasa industri.

Bagaimana melakukan peramalan yg tepat dengan keterbatasan tempat inventori dari setiap jalur distribusi hingga ke toko2 atau supermarket, utk barang dengan merk apa yg sedang ‘digandrungi’ tahun ini, berapa lama shelf lifenya dst.

Bagaimana mengatasi logistik bahan makanan segar khas utk hidangan lebaran ketika jalur transportasi tersesaki oleh mudik manusia dg kendaraan pribadi.

Bagaimana mengatur lebih baik antrean, melayani penjualan tiket, menjaga operasional seluruh peralatan transport, tetap menjaga resiko pada ancaman keamanan.

Memang utk membuat atau meningkatkan layanan yang kompleks semacam ini membutuhkan keahlian multi dari perekaya industri.

The world needs more industrial engineers..
.. especially during holidays.

Happy Hari Raya Lebaran.

Mohon maaf lahir dan batin.

Mari kembali ke titik nol, sehingga kita bisa melakukan Business Process Reengineering BPR terhadap diri kita dan tempat berkarya kita.

Kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat – We only see what we wanted to see

Di kuliah faktor manusia di TIUI, ada tradisi memutar video dari BBC tentang Human Senses. Sebuah serial yg membahas tentang karakteristik 5 panca indera fisik utama manusia.

Ada satu segmen tentang cara kerja mata dan bagaimana mata sebagai sebuah indera yg luar biasa mampu menangkap semua gambar obyek didepan mata. Tetapi kita juga sering mendapatkan ada orang yg tidak melihat apa yg ada dihadapannya, dan kita terheran kenapa kok tidak lihat padahal sudah jelas ada didepannya. Dalam serial ini, terdapat sebuah adegan dimana seseorang berkostum gorilla yang berkali-kali lewat didepan kamera, tetapi hampir seluruh penonton (termasuk saya ketika menonton pertama kali) tidak memperhatikannya walaupun sebenarnya mata melihatnya.

Melihat membutuhkan mata, tetapi ternyata “melihat” lebih banyak merupakan “kerja” otak daripada mata. Mata bertindak sebagai alat untuk melakukan pengambilan gambar, tetapi memberikan makna terhadap gambar adalah kerja otak. Kenapa anda tahu sebuah benda ditangan rekan anda sebuah blackberry misalnya, tetapi bukan sebuah tv atau radio mini. Karena bentuk blackberry direkam oleh otak anda sebagai blackberry, jika anda membawa blackberry ke suku pedalaman yang tidak pernah membaca koran, tv atau apapun, mereka tidak akan tahu jika itu adalah blackberry, karena otak mereka tidak pernah menangkap gambar blackberry dan tidak mengasosiasikannya dengan sejenis smartphone. Mungkin anda anda bisa dianggap dukun sakti karena bisa punya alat yang bisa “mencuri” muka orang dengan kemampuan fotonya, atau malah harus dibunuh karena dianggap dukun jahat yang mau mengambil jiwa mereka dengan memfoto mereka.

Tidak Melihat yang Seharusnya Terlihat: Tidak Mampu dan Tidak Mau

Itulah mengapa banyak orang yang tidak melihat apa yang menurut kita seharusnya mereka melihat. Bisa karena 2 hal utama: tidak mau atau tidak mampu. Lanjutkan membaca “Kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat – We only see what we wanted to see”

Pentingnya Peran Pendukung (Bidang Kerja Teknik Industri 2)

Hari ini di kampus, kami kedatangan seorang alumni yang berprofesi sebagai arsitek untuk mencari tenaga teknik industri untuk bekerja di grup perusahaannya sebagai asisten direktur utama yang bertugas meningkatkan efisiensi dan efektivitas usahanya. Sebuah diskusi menarik timbul karena ternyata dia ditugaskan secara spesifik ke TI karena kebutuhan yang mendesak serta pengakuan kemampuan perekayasa industri untuk  menetapkan kontrol utama kepada setiap proses sehingga kerugian akibat ineffisiensi dapat ditekan.

Berita ini menarik saya untuk menulis tentang pentingnya peran pendukung, yang terkadang tidak terlihat di luar atau langsung, tetapi berperan sangat penting dalam menciptakan "konsistensi” kualitas layanan langsungnya. Dan sebagai teknik industri pada dewasa ini, sangat besar kemungkinan anda tidak akan bekerja sebagai pemeran utama klasik sesuai bidang ilmu anda di bidang manufaktur misalnya sebagai PPIC manager, QC atau lainnya. Banyak alumni yang bekerja dibidang jasa atau dibidang manufaktur tetapi berbasis proses kimia (pabrik semen, minyak dan energi, minuman, consumer goods, farmasi dll).

Pada bidang-bidang ini, perekayasa industri memang akan banyak berperan sebagai peran pendukung dan peran pendukung ini jangan dianggap lebih kecil daripada pemeran utama, bahkan peran pendukung sebenarnya jauh lebih penting daripada pemeran utama

Lanjutkan membaca “Pentingnya Peran Pendukung (Bidang Kerja Teknik Industri 2)”