Terjebak Istilah “Data-Driven” = Terjebak Nostalgia

Dalam diskusi di rumah pagi ini, ada yang membahas tentang prediksi pemodelan pandemic yang dilakukan di negara tetangga tentang kapan berakhirnya pandemic dengan memberikan judul “data-driven”. Seolah-olah kata data-driven memberikan bobot lebih tinggi terhadap hasil pemodelan, karena berbasis data. Namun bukankah jika datanya tidak valid maka sebenarnya hasil modelnya tidak valid? Apalagi ketika negara tetangga melakukan prediksi kondisi Indonesia, lha datanya dari mana? ketika kita sendiri masih berdebat tentang data yang ditampilkan oleh pemerintah.

Jika kita lihat konteksnya, Data-driven menjadi istilah populer ketika dunia memasuki masa big data, yaitu ketika aktivitas manusia untuk pertama kalinya dapat dikumpulkan secara masif melalui interaksi dia dengan perangkat digitalnya. Setiap halaman yang anda click, video yang anda pilih, berapa lama anda berada dalam satu halaman, aplikasi apa yang anda install, anda jalan kemana saja dengan bantuan peta digital, itu menjadi sebuah timbunan data yang luar biasa besar tentang diri anda. Timbunan data ini kemudian di”masuk-akal”kan untuk melakukan prediksi tentang profil anda. Profil ini bisa saja akan mengungkapkan kejutan tentang apa sebenarnya yang anda sukai, yang bisa berbeda dari apa yang anda pikir anda sukai.

Jika diagregasi ke skala yang lebih besar, timbunan data personal ini bisa menjadi data group, group menjadi organisasi, lalu industri, hingga wilayah, nasional dan dunia. Contoh dari agregasi ini adalah Laporan tahunan google tentang apa yang sering dicari di Indonesia adalah salah satu contohnya (2019 Report). Laporan ini menarik karena seperti membuka kebiasaan orang Indonesia mungkin tidak diketahui oleh orang Indonesia sendiri. Ada mungkin sekelompok kecil orang Indonesia yang berbeda, namun ketika ini adalah big-data, maka seolah-olah menjadi pembenaran bahwa kerikil-kerikil kecil berupa ketidaksesuaian atau ketidavaliditasan data pasti kalah dan dihaluskan dengan data lain yang lebih banyak jumlahnya.

Lanjutkan membaca “Terjebak Istilah “Data-Driven” = Terjebak Nostalgia”

Pemodelan Pandemic: Kebutuhan Ilustrasi atau Kebijakan

Image by congerdesign from Pixabay

Dalam beberapa waktu terakhir, banyak diskusi yang timbul dan menyinggung mengapa kok lab kami tidak menyusun model yang bisa membantu memprediksi berbagai macam dampak kebijakan dari pencegahan pandemic corvid-19, seperti lock-down, pembatasan, social distancing dsb di Indonesia. Kami sudah berdiskusi berat tentang hal ini yang mempertimbangkan beberapa hal berikut:

  1. berbagai kemungkinan pertanyaan kebijakan terhadap dampak (apakah berat di sisi ekonomi, epidemiologis, dst)
  2. alternatif jawaban awal dari pertanyaan kebijakan sebagai tujuan dari model
  3. pendekatan pemodelan, simulasi dan skenario yang bisa dilakukan (heuristik, stochastic, system dynamics dan agent based modeling),
  4. kebutuhan data akurat dan tervalidasi untuk membangun model tersebut,
  5. kebutuhan asumsi logis untuk mengisi ketidak-tersediaan data (yang merupakan masalah pemodelan klasik di Indonesia),
  6. siapa saja pakar yang seharusnya bergabung didalam tim pemodelan karena ini mencakup masalah urbanisasi, epidemiologis, manajemen rumah sakit (kapasitas penyembuhan), politik, ekonomi, industri kesehatan dan pakar-pakar lainnya.
  7. waktu pengembangan untuk menghasilkan model yang purposeful menjawab pertanyaan kebijakan tersebut,

Tentunya para rekan yang meminta, juga menunjukkan berbagai model “ilustrasi” yang diberikan di berbagai media yang menurut mereka seharusnya kami bisa menyusunnya dalam konteks Indonesia. Tentunya kami bisa, namun model-model tersebut adalah model ilustrasi, yaitu sebuah model berbasis kepada data dan asumsi umum dengan tujuan mengedukasi, bukan untuk menjawab kebutuhan kebijakan. Sebuah model untuk menjawab kebutuhan kebijakan tidak hanya berdasarkan edukasi, namun juga harus berdasarkan data yang kuat. Mengapa? Karena seharusnya, sebuah kebijakan diambil berdasarkan asumsi logis dan data yang timbul, jangan karena politik dan emosi.

Lanjutkan membaca “Pemodelan Pandemic: Kebutuhan Ilustrasi atau Kebijakan”

Rebutan Bendera dan Nasib Para Perancang

Ketika memulai mengumpulkan pengalaman sebagai konsultan, terutama konsultan di pemerintahan, saya mendapatkan nasehat berharga dari guru saya tentang Bendera. Sebelum saya ceritakan maksud utama tulisan ini, maka kita lihat dulu fungsi utama Bendera.

Bendera adalah sebuah alat untuk menarik perhatian. Bendera suatu negara, bendera organisasi, atau bendera suatu acara, adalah untuk menarik perhatian orang yang melihatnya. Bendera yang berkibar membuat seseorang secara otomatis tertarik perhatiannya mencari makna terhadap tentang simbol yang diletakkan di bendera.

Orang yang mengkibar-kibar bendera juga ingin supaya benderanya dilihat sehingga walaupun melelahkan, tapi tetap ada mau melakukannya. Mengapa? Karena yang ikut memegang bendera, ikut terlihat, sehingga secara otomatis ikut “ngetop”. Jadi sering di acara-acara organisasi timbul situasi rebutan Bendera, untuk mengkibas-kibaskannya, karena berarti akan menjadi pusat perhatian dan bisa tersebar di sosial media juga.

Jika bendera dirancang oleh seorang perancang, apakah dia akan ikut ngetop ketika Benderanya dikibarkan orang lain? Tentu tidak. Tidak ada yang akan bertanya, eh siapa yang merancang bendera ya? perhatian pasti akan tertuju kepada yang mengibarkan bendera, bukan yang merancangnya. (Pengecualian mungkin kepada bendera negara, yang memang ada cerita nasionalisme yang mengiringi perancangan bendera negara)

Sebagai konsultan, kita sering bertindak sebagai perancang sistem. Dan seperti kasus bendera, seorang perancang sangat jarang mendapatkan pangakuan terhadap produknya. Seorang perancang sudah pasti dilupakan, walaupun apa yang dia rancang telah memiliki manfaat yang luas bagi pengguna rancangannya.

Jadi nasehat dari guru adalah ikhlas terhadap bendera, supaya rancangan kita bisa akhirnya dijalankan. Artinya jangan merasa untuk menunda berkarya hanya karena kita tidak suka orang lain mengklaim hasil kerja keras kita. Apalagi jika karya kita bisa menyentuh masyarakat banyak. Proyek proyek infrastruktur yang biasanya berjangka panjang, seperti MRT Jakarta contohnya, yang bekerja keras untuk menyusun pola pembiayaan dan administrasi proyeknya pasti tidak disorot dibandingkan yang menekan tombol mulai proyek atau tombol mulai beroperasinya MRT Jakarta. Padahal tanpa jaminan pembiayaan kan tidak akan berjalan proyeknya.

Nasehat lain adalah memanfaatkan kebutuhan akan membawa bendera. Kan menyenangkan yaa membawa karya orang lain sebagai hasil kerja kita, padahal bukan kita yang membuatnya. Jadi supaya kerja kita lancar ketika merancang, kita sudah menawarkan bahwa silahkan ketika sudah jadi, orang lain saja yang mengibarkan benderanya, asalkan anda mendukung atau paling tidak membiarkan tidak mengganggu pekerjaan perancangan.

Itulah pentingnya paham soal bendera

Teknik Industri dan Industri 4.0

Kurikulum Teknik Industri haruslah adaptif terhadap berbagai perubahan di dunia industri. Perubahan terbesar yang sedang dan akan terus berjalan adalah Revolusi Industri 4.0. Namun sebagian besar interpretasi terhadap dampak Industri 4.0 adalah berbasis kepada interpretasi yang dilakukan oleh konsultan global, dengan fokus ke arah perubahan organisasi. Hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang bagaimana sebaiknya kurikulum teknik industri disiapkan untuk era perubahan akibat Revolusi Industri 4.0.

Slide presentasi ini merupakan eksplorasi pribadi terhadap apa yang bisa menjadi dampak Revolusi Industri 4.0 terhadap sub-kelompok ilmu di ISE BOK (Industrial and Systems Engineering Body of Knowledge) yang disusun oleh IISE. Anda dapat unduh disini.

Evidence Based Policy Making

 Evidence Based Policy Making (EBPM) atau Pengambilan Kebijakan berbasis Bukti/Fakta merupakan sebuah proses pengambilan kebijakan yang berbasis kepada bukti. Ini merupakan lawan dari pengambilan kebijakan yang hanya berlandaskan kepada preferensi pribadi yang cenderung emosional, berjangka pendek, berbasis pengalaman lampau, apalagi hanya untuk menyenangkan atasan.

Indonesia memang masih harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan, dengan berbagai ketidaktepatan kebijakan yang telah kita buat dimasa lampau. Namun bekerja keras tanpa ada tujuan yang jelas dengan basis asumsi masa lampau yang tidak tepat, akan membuat kita salah arah dan juga berpeluang membuat kesalahan baru. Kesalahan baru yang berbeda dari kesalahan yang telah dibuat, yang akhirnya menjebak diri kita ke sebuah pusaran tanda akhir membuat kesalahan kebijakan.

Sebagai contoh konsep sasaran yang ingin dicapai dalam kebijakan, para pengambil kebijakan sering lupa bahwa konsep sasaran tidaklah statis, tapi dinamis tergantung perubahan yang terjadi. Sebagai contoh ketika terjadi diskusi di Universitas Indonesia untuk mengejar ketertinggalan publikasi internasional dibandingkan negara tetangga, timbul optimisme bahwa secara trend kita akan mengalahkan saingan terdekat kami di regional Asia. Namun, optimisme itu menjadi berkurang, ketika diskusi mengarah, bukankah di universitas pesaing akan melihat posisi kita yang mengejar, sehingga bereaksi pula untuk meningkatkan publikasinya pula. Inilah yang disebut “Dynamic Moving Target” atau sasaran bergerak.

The best will be copied by the next best, and some copies will be better than the original.

Sehingga inovasi harus terus dikembangkan dan rasa nyaman terhadap status quo harus selalu secara rutin digoyang untuk berkreasi. Biasanya ketika dipaksa berubah, maka manusia akan melawan balik dengan berbagai cara untuk membatalkan perubahan. Cara yang terbaik adalah berbasis kepada fakta. Jika sebuah diskusi perdebatan berlandaskan kepada fakta, maka lebih mudah mengarahkan perubahan. Karena fakta memiliki kekuatan yaitu sulit didebat dibandingkan asumsi maupun emosi. Ketika fakta lingkungan berubah maka kita juga harus mengubah strategi antisipasinya.

Disinilah letak EBPM.

Lanjutkan membaca “Evidence Based Policy Making”

Memberikan Perhatian lebih kepada Makna dari Nilai

Nilai yang berasal dari kata Value, merupakan sebuah kata yang penting bagi perekayasa industri untuk keluar dari cara pandang lama untuk menuju ke cara pandang sistem yang lebih utuh.

Bagi mahasiswa Teknik Industri, kata nilai biasanya dikenalkan di kuliah pengantar teknik industri atau kuliah pengendalian kualitas. Nilai secara umum didefinisikan sebagai perbandingan antara harga dan kualitas. Jika harga sama namun kualitas meningkat, maka nilai meningkat. Atau sebalikanya jika harga turun namun kualitas tetap sama maka nilai meningkat. Simplifikasi yang sangat sederhana ini tidak salah, bahkan tepat, namun jika fokus pendidikan teknik industri ke arah desain, maka fokus kepada kedua hal ini saja tidak akan mendorong kita mendesain lebih kreatif. Seolah-olah satu-satunya cara untuk meningkatkan kualitas adalah dengan efisiensi biaya, yang masuk ke ranah operasi, bukan ke arah desain.

Jadi apa yang dibutuhkan? Pemahaman yang lebih terhadap definisi nilai

Lanjutkan membaca “Memberikan Perhatian lebih kepada Makna dari Nilai”

LRT dan MRT … dan Rekayasa Sistem

Picture Source: http://sumsel.tribunnews.com/2018/07/18/20-juli-warga-palemban-sudah-bisa-naik-lrt-6-stasiun-dibuka-untuk-umum-pakai-e-money-tarif-rp-5000

Pagi ini membaca sebuah artikel tentang mogoknya LRT di Sumatera yang terjadi yang terjadi sering dalam satu minggu kembali mengusik kenangan diskusi di masa lalu di PT MRT Jakarta tentang pentingnya perspektif rekayasa sistem untuk meningkatkan kesiapan operasional bahkan dalam sebaiknya sudah dimulai dengan fase konstruksi.

Ketika sebuah sistem kompleks dibangun maka sebuah ciri sistem akan mengemuka, yaitu kumpulan dari komponen terbaik belum tentu menghasilkan sebuah sistem terbaik, terutama jika tingkat konektivitas sistem tinggi. Yang dimaksud dengan tingkat konektivitas adalah secara kuantitas (prosentase setiap komponen terkoneksi dengan yang lain) dan kualitas (ketika koneksi yang terjadi didesain atau tidak disadari mampu membuat sistem berhenti).

Dalam kasus LRT diatas, sebuah door sensor didesain untuk menghentikan kereta karena berbasis keselamatan penumpang, jangan sampai ada yang bisa meloncat ketika kereta sedang berjalan. Namun, semoga door sensor itu tidak dimatikan, karena dianggap malah mengganggu operasional kereta dan dianggap tidak penting. Sesuatu kebiasaan di negara kita untuk mencari quick fix daripada masuk korang terus menerus (ini juga gejala permasalahan sistem).

Rekayasa sistem secara sederhana adalah sebuah komitmen untuk menselaraskan konektivitas sistem sejak dari perancangan, mengawalnya ketika operasional, serta memperbaiki rancangan berikutnya melalui pengalaman operasional. Di organisasi membuat sebuah tim khusus yang multi-bagian dan multi-disiplin untuk melakukan proses ini dengan menggunakan manajemen resiko dalam memetakan kemungkinan berbagai aspek kegagalan. Lanjutkan membaca “LRT dan MRT … dan Rekayasa Sistem”