Sistem harus memiliki Umpan Balik

Di berbagai workshop dan seminar yang saya ikuti, saya sering mendengar bahwa sebuah institusi mengklaim telah menciptakan sebuah sistem ini, sistem itu, yang lebih baik dari sebelumnya. Ada juga yang mengklam bahwa sebelumnya tidak ada sistemnya, sehingga sekarang dengan adanya sistem yang baru dirancang maka akan lebih tertata dst.

Namun yang menarik buat saya dari konsep, rancangan, atau akhirnya di implementasi, sistem tersebut tidak memuat adanya sub-sistem umpan balik. Umpan balik adalah sub-sistem yang seringkali lupa merupakan bagian penting dan memang seharusnya ada dalam sistem. Definisi sistem klasik adalah input proses output umpan-balik. Sehingga ketika sebuah klaim sistem dilakukan, namun ternyata tidak memiliki sub-sistem umpan balik, maka seharusnya tidak bisa diklaim sebagai sistem

Sebagai contoh sebuah institusi mengklaim telah menyusun sebuah sistem tata kelola tertentu. Tata kelola sebagai sebuah sistem yang berarti adalah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang mempengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan suatu sistem kerja dalam mencapai tujuannya. Maka yang selama ini saya temui adalah hanya berfokus kepada tata cara dan tata laksana yang hanya mengatur transformasi suatu hal untuk menjadi layanan atau produk tertentu. Proses perancangan yang disampaikan bisa superfisial karena menghabiskan anggaran saja, atau memang dilakukan dengan sungguh-sungguh hingga sangat baik, kokoh, dan tangguh. Namun jarang sekali yang menyertakan rancangan sub-sistem umpan balik.

Proses didalam sub-sistem umpan balik mencakup proses monitoring, proses evaluasi, proses tindak lanjut serta proses perbaikan dari sub-sistem ini. Bisa bersifat manual misalnya dokumen laporan, lalu dibahas dirapat, kemudian dibuatkan keputusan perbaikan yg lengkap dengan jadwal pelaksanaan, siapa penanggung jawab dan akhirnya ada kewajiban laporan penyelesaian atau penundaan penyelesaian di rapat berikutnya.

Bisa juga diotomatisasi, sebagian atau seluruhnya: 1. Sebagian misalnya sistem early warning system yang mampu memberikan notifikasi otomatis jika sebuah hasil berada diluar dari seharusnya. 2. Sepenuhnya misalnya termasuk sebuah respons otomatis yang sudah disiapkan dengan baik, sehingga tinggal dijalankan ketika dibutuhkan.

Sub-sistem umpan balik sering ditinggalkan atau dirancang seadanya. Sering karena dianggap tidak dibutuhkan atau tidak memberikan manfaat signifikan dibandingkan dengan sub-sistem utama. Padahal tanpa sub-sistem ini, seharusnya kata sistem tidak bisa disematkan. Tanpa sub-sistem umpan balik yg baik, maka kita tidak akan tahu apakah sudah sesuai sistem yang kita rancang berjalan, kita tidak tahu langkah perbaikan apa yang perlu dilakukan, kita tidak tahu posisi saat ini relatif ke yang lain. Padahal keunggulan sistem adalah pada kemampuan adjustment, bahkan jika canggih, self – adjustment, yang hanya bisa terjadi jika ada pemicunya yaitu informasi dari umpan balik yang konstan.

Jika keengganan membuat sub-sistem umpan balik adalah akibat tidak tahu, maka dimaafkan, asal tidak diulangi setelah tahu. Dimaafkan juga, Jika alasannya karena mahal, karena memang terkadang biayanya mahal. Ilustrasinya jika dibutuhkan dana 10rb rupiah untuk setiap data yang dibutuhkan dari setiap warga negara Indonesia, maka dibutuhkan dana milyaran karena penduduk Indonesia yang ratusan juta. Tetapi jika keengganan timbul karena tidak ingin dievaluasi, tidak ingin dikritik, dan tidak ingin transparan, supaya bisa bikin program tanpa data, cuma karena suka-suka saja, maka jangan dimaafkan. Jangan habiskan energi dan sumber daya untuk program sia-sia yang tidak berdasarkan data, atau mengulang program yg tidak jelas umpan baliknya berguna atau tidak. Investasi menyusun sistem umpan balik memang tinggi, tetapi pemborosan akibat tidak adanya umpan balik akan jauh lebih tinggi lagi. Mulailah menyusun program berbasis data, sehingga jelas patokannya untuk tahu nantinya membaik atau tidak. Jangan lupakan untuk memperkuat tata kelola umpan-balik.

Tinggalkan komentar