Evidence Based Policy Making

 Evidence Based Policy Making (EBPM) atau Pengambilan Kebijakan berbasis Bukti/Fakta merupakan sebuah proses pengambilan kebijakan yang berbasis kepada bukti. Ini merupakan lawan dari pengambilan kebijakan yang hanya berlandaskan kepada preferensi pribadi yang cenderung emosional, berjangka pendek, berbasis pengalaman lampau, apalagi hanya untuk menyenangkan atasan.

Indonesia memang masih harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan, dengan berbagai ketidaktepatan kebijakan yang telah kita buat dimasa lampau. Namun bekerja keras tanpa ada tujuan yang jelas dengan basis asumsi masa lampau yang tidak tepat, akan membuat kita salah arah dan juga berpeluang membuat kesalahan baru. Kesalahan baru yang berbeda dari kesalahan yang telah dibuat, yang akhirnya menjebak diri kita ke sebuah pusaran tanda akhir membuat kesalahan kebijakan.

Sebagai contoh konsep sasaran yang ingin dicapai dalam kebijakan, para pengambil kebijakan sering lupa bahwa konsep sasaran tidaklah statis, tapi dinamis tergantung perubahan yang terjadi. Sebagai contoh ketika terjadi diskusi di Universitas Indonesia untuk mengejar ketertinggalan publikasi internasional dibandingkan negara tetangga, timbul optimisme bahwa secara trend kita akan mengalahkan saingan terdekat kami di regional Asia. Namun, optimisme itu menjadi berkurang, ketika diskusi mengarah, bukankah di universitas pesaing akan melihat posisi kita yang mengejar, sehingga bereaksi pula untuk meningkatkan publikasinya pula. Inilah yang disebut “Dynamic Moving Target” atau sasaran bergerak.

The best will be copied by the next best, and some copies will be better than the original.

Sehingga inovasi harus terus dikembangkan dan rasa nyaman terhadap status quo harus selalu secara rutin digoyang untuk berkreasi. Biasanya ketika dipaksa berubah, maka manusia akan melawan balik dengan berbagai cara untuk membatalkan perubahan. Cara yang terbaik adalah berbasis kepada fakta. Jika sebuah diskusi perdebatan berlandaskan kepada fakta, maka lebih mudah mengarahkan perubahan. Karena fakta memiliki kekuatan yaitu sulit didebat dibandingkan asumsi maupun emosi. Ketika fakta lingkungan berubah maka kita juga harus mengubah strategi antisipasinya.

Disinilah letak EBPM.

Prinsip Dasar EBPM

EBPM memiliki beberapa prinsip dasar, yaitu

  1. Decisions are based on evidence and not made by evidence
  2. Clear common goals that the policy should or must be achieved
  3. The evidence must be seen in a context

Mari kita lihat satu per satu:

1. Based on berbeda dengan made by. Berlandaskan dengan didikte oleh data adalah berbeda.

Data bukti penting, namun kearifan menterjemahkan data juga penting. Karena data yang telah diolah untuk menjadi bukti tetap harus diterjemahkan secara subyektif. Seperti pada konsep sasaran yang sudah kita bahas, jika kita hanya berlandaskan data yang berasal dari masa lampau, tanpa menambahkan pemahaman terhadap waktu dan perubahan, maka kita tidak berpikir bahwa sasaran itu juga bergerak ketika perubahan terjadi.

Anda mungkin bertanya, lha ini kan nggak masuk logika, katanya harus pakai bukti tapi kok malah nggak boleh berbasis bukti. Jadi kenapa? Ini karena kebijakan tetaplah subyektif, tergantung kepada kepentingan terhadap dampak dari kebijakan. Kepentingan ini memaksa keberpihakan kepada suatu perspektif dibandingkan perspektif lain. Perspektif berbeda akan membuat cara membaca data yang sama berbeda. Data yang sama, jika dibaca berbeda, akan berujung ke kesimpulan yang berbeda pula.

Ini berarti EBPM tetap memiliki kelemahan subyektif, namun tetap lebih baik dari total subyektivitas karena paling tidak masih berdasarkan bukti data, tidak asumsi apalagi imajinasi.

2. Tujuan yang jelas dan disepakati menjadi basis dalam melakukan relevansi, seleksi, dan evaluasi dari.

Seringkali tujuan yang tidak terdefinisi secara jelas menimbulkan multi-interpretasi sehingga bisa saling mengklaim bahwa tujuan telah tercapai atau tidak tercapai. Saya sering menemukan perdebatan pencapaian tujuan ketika kebijakan telah dilaksanakan, yang ketika dirunut sebabnya adalah sejak awal memiliki ketidakjelasan dan ketidaksepakatan.

Tonton saja perdebatan soal politik ekonomi, seorang pengamat bisa benar ketika berseberangan dengan pengamat lain. Lha berseberangan kok bisa benar keduanya? Karena menggunakan tujuan yang berbeda. Kedua pengamat akan benar pendapatnya jika masing-masing menjelaskan tujuannya masing-masing. Jadi bayangkan aja seperti naik bus, mereka sedang naik bus bersama, namun beda tujuan.

Tujuan yang jelas memiliki sasaran kuantitatif yang jelas, sasaran yang jelas adalah sasaran yg baik dan disepakati bersama. Sasaran yang baik memenuhi kritera SMART (Specific, Measureable, Action-oriented, Relevant and Time-Bound). Monggo dicari di web soal SMART ini, karena tidak dibahas di tulisan ini.

Lalu tujuan harus disepakati bersama, ini yang lebih susah, namun tidak mustahil. Karena sepakat itu bisa beberapa tingkat, dari kesepakatan logika dan kesepakatan persetujuan, dari sementara maupun permanen.

3. Bukti dalam EBPM harus dilihat dalam konteksnya.

Context creates Meaning = Konteks memberikan Arti/Makna. Konteks didefinisikan sebagai lingkungan dimana data yang dikumpulkan, asumsi yang diberikan, proses pengolahan yang dilakukan, kesimpulan yang diambil, serta rekomendasi yang diberikan yang bisa memberikan pengaruh. Karena pengaruhnya maka banyak inilah, ada yang memiliki istilah: Context is King. 

Context is king karena aspek lingkungan seperti waktu, lokasi, dan aktor akan membuat sebuah bukti relevan atau tidak relevan. Waktu misalnya, ketika memasuki tahun politik, maka biasanya segala komentar dan kelakukan dari para aktor politik akan bisa dipahami dari keinginannya untuk menang. (Walaupun sekarang semua tahun adalah tahun politik). Lokasi misalnya, bukti yang berlaku di negara lain, belum tentu berlaku di negara kita. Aktor misalnya, kita cenderung memberikan bobot lebih tinggi kepada bukti yang berasal dari lembaga resmi atau orang yang kita percayai, dibandingkan dengan orang yang baru kita kenal.

Manfaat EBPM

Manfaat EBPM secara umum mencakup:

a. EBPM menjadi dasar dalam melakukan proses umpan balik pembelajaran dalam mengembangkan kebijakan (policy learning). Proses umpan balik membutuhkan dasar, dan data evidence menjadi dasar yang obyektif untuk melihat apakah ada kesalahan dalam mengolah data, menginterpretasikan data atau menyajikan data sehingga kesimpulan yang diambil tepat atau tidak sesuai.

b. EBPM juga menjadi perpustakaan dinamis yang menjadi ingatan institusi (institutional memory). Proses EBPM biasanya terdokumentasi karena dimulai dari data yang dikumpulkan. Proses EBPM juga membutuhkan diskusi dalam penyamaan persepsi dan pembangunan konsensus dalam menentukan kebijakan. Dua proses utama ini, dokumentasi dan diskusi, akan meninggalkan jejak pengetahuan baik secara tulisan maupun secara ingatan di pelaku di organisasi.

c. Mendisiplinkan organisasi untuk mengumpulkan data bukti (evidence) yang relevan. Dengan membuat data menjadi kebutuhan dalam mengambil keputusan, maka organisasi akan selalu didorong untuk mengupdate data secara rutin dan menambahkan data baru yang dibutuhkan. Pengumpulan data memang membutuhkan biaya, namun biaya ini akan digantikan oleh kualitas dari pengambilan kebijakan dan terhindar dari kesalahan yang bisa terjadi, dan biaya memperbaiki kesalahan itu menjadi lebih mahal dari kesalahannya.

EBPM menjadi basis dalam MBPM (Model Based Decision Making)

EBPM yang didukung oleh kemampuan prediksi sering disebut pula sebagai Model Based Policy Making (MBPM). Selain kemampuan prediksi, model juga memiliki kemampuan untuk membantu pemahaman masalah yang lebih baik melalui uji coba simulasi “What-ifs“. Model merupakan alat yang paling logis dalam melakukan eksplorasi terhadap bukti dan data dengan dua kemampuan ini. Tulisan saya berikutnya akan membahas tentang hal ini.

Tinggalkan komentar