Terjebak Nostalgia … (baca: Terjebak Algoritma)

Dalam konsep revolusi industri 4.0 yang sedang menjadi pembicaraan hangat saat ini, ada 2 teknologi yaitu data mining dan artificial intelligence (AI) yang dianggap akan merevolusi industri di masa datang. Perusahaan raksasa teknologi, Google, baru-baru ini menemukan berbagai revolusi teknologi berbasis AI yang bahkan bisa mengemulasikan suara manusia untuk menelepon sebuah restoran untuk memesan tempat, tanpa disadari oleh si penerima telpon bahwa dia sedang berbicara dengan komputer.

Jargon teknologi ini, dimana Google akan lebih mengenal anda dibandingkan anda sendiri, akan benar adanya. Google akan mengambil data apa saja yang anda baca dan minati, dimana saja anda sering bepergian dan berapa lama anda disitu, siapa saja kawan anda dan seterusnya. Dan sebagai sebuah entitas bisnis maka dia akan memberikan anda iklan relevan atau berita relevan supaya anda terus menggunakan layanan Google. Dengan teknologi terbaru, google berharap tidak hanya melayani anda, tapi “mengantisipasi” anda ingin melakukan apa.

Relevan adalah kata kuncinya. Untuk menentukan relevansi maka Google tidak mungkin menugaskan satu orang untuk mengikuti anda untuk mengerti anda, dia akan menciptakan algoritma AI yang akan membaca data anda yang sangat banyak (dari apa yang anda klik, sampai berapa lama anda membaca sebuah artikel, posisi anda di google maps dsb).

Disinilah mengapa judul artikel ini adalah terjebak nostalgia. Kenapa nostalgia? Karena algoritma membaca data historis, yaitu dalam bahasa romansa, adalah nostalgia. Mirip dengan pelajaran peramalan, kita bisa menarik garis lurus proyeksi masa depan dengan memplot data masa lampau. Artinya terjebak algoritma adalah terjebak Nostalgia.

Sadarkah anda bahwa video yang disuplai oleh youtube, hasil google search, newsfeed facebook, instagram, line today berita yang didorong kepada anda adalah hasil algoritma terhadap data dan profil anda? Mereka akan menampilkan berita yang anda ingin baca, bukan yang sebaiknya mereka baca. Mereka akan menampilkan teman yang sepaham dengan anda, bukan yang berlawanan. Mereka akan menampilkan berita emosional, supaya anda marah atau senang, karena semakin emosi anda maka semakin lama anda berada didalam layanan mereka. Algoritma akan memilih berita apa yang akan disajikan ke anda, dan menghapus atau mengurangi berita lain yang tidak relevan dengan data lampau anda.

Karena basis keuntungan para penyedia jasa online adalah jumlah pengguna, maka segala cara akan dilakukan untuk mempertahankan dan menarik pengguna untuk menggunakannya. Sehingga tentunya mereka akan seperti sopir angkot yang sangat customer oriented dibandingkan sopir busway, walaupun yang benar adalah sopir busway. Hanya sopir angkot yang bisa berhenti dimanapun ketika pelanggannya meminta stop, bahkan di bawah rambu dilarang stop. Sopir busway tidak boleh dan bisa melakukan itu, artinya pelanggan “dipaksa” untuk ke halte. Sangat tidak melayani yaa?

Artikel ini sebenarnya saya tulis karena merenung melihat kejadian teror hari ini di kota Surabaya. Ketika didalam diskusi di meja makan, timbul pertanyaan klasik yang sering muncul di keluarga kami, yaitu kenapa kok ada orang yang tega melakukan hal ini? Tidak masuk akal rasanya. Saya jadi berargumen bahwa siapa bilang tidak masuk akal? bagi mereka ini pasti masuk akal, karena kalau tidak masuk akal, yaa tidak dilakukan harusnya.

Pertanyaannya adalah kenapa kok bisa masuk akal bagi mereka? … karena terjebak nostalgia… terjebak algoritma

Algoritma yang dirancang untuk memancing kita menjadi pengguna setia, akan membuat kita berpandangan bahwa kita selalu benar dan orang lain salah. Kita yang masuk akal, “mereka” yang tidak masuk akal. Kita yang “korban”, mereka penganiaya.

Kita merasa semakin dibenarkan karena seolah-olah pandangan kita seolah-olah dimiliki oleh sebagian besar orang. Tentu saja dari 200 juta orang pengguna media sosial di Indonesia, pastilah ada 50 orang lain yang serupa dengan anda, namun seolah-olah 50 orang ini sudah bisa membenarkan tindakan yang merugikan 200 jutaan penduduk Indonesia lainnya.

Dan hebatnya, akibat algoritma ini, kita jadi ragu-ragu untuk bertindak atau berpendapat. Ada yang langsung membungkus tindakan diluar kemanusiaan ini sebagai kewajaran terhadap tindakan masa lampau, sebagai politisasi untuk menghadapi pilkada dan pilpres, sebagai tindakan represif kepada salah satu pihak, dsb. Kita jadi bingung harus bertindak apa. Mau komentar di grup chat, nanti teman kita ada yang langsung berespons seperti diatas, nggak dikomentarin kok yaa masak dibiarkan. Anda mengalami hal yang sama? Jadi jangan heran mengapa kok bisa ada Presiden mengejutkan yang terpilih di negara demokratis karena keraguan yang diciptakan didalam media sosial.

Semoga sih bangsa Indonesia, tidak terjebak dengan nostalgia, dan mampu beradaptasi dengan kecepatan perubahan jaman melalui media sosial. Kita harus menguatkan diri dengan pola pikir sebagai sebuah bangsa majemuk. Tantangannya sudah berbeda: media sosial berbasis AI, Machine Learning dsb, tidak hanya berdampak dari sisi industri, tapi akan berdampak secara sosial. Perkuat pendidikan dasar dan menengah untuk mendukung toleransi dan kemajemukan, letakkan fondasi yang kuat dan konsisten, jangan biarkan aspek politik ada di tingkatan ini. Jika kita sepakat Pancasila, buatkan mekanisme bersama yang kuat melalui UU, kelembagaan independen dan disegani, dan tidak tergantung dengan elite politik yang menjabat. Jika ini bisa terjadi, maka tidak hanya infrastruktur fisik saja yang berhasil ditingkatkan, tapi infrastruktur kebangsaan Indonesia akan menjadi kokoh setelah kelihatannya ditinggalkan sejak reformasi.

Kita juga harus mulai memvariasi apa yang kita pilih untuk baca serta semua aktivitas online, sehingga algoritma tidak mendikte bagaimana kita harus berpikir.

2 komentar pada “Terjebak Nostalgia … (baca: Terjebak Algoritma)”

  1. Tulisan yang menarik, Pak Ahmad. 🙂
    Untuk kasus pelaku bom Surabaya, kenapa bisa masuk akal bagi mereka?
    Insufficient Data. Ketika kita hanya mengkonsumsi informasi dan pengetahuan yang “biased” setiap hari-nya, kita akan logically menarik kesimpulan dari data yang biased tersebut. We think we’re right, but the truth is we don’t use sufficient data to make our decision.
    Para pelaku bom ini, saya yakin mereka hanya memiliki informasi dari satu sumber dan mengabaikan informasi dan perspektif lain, sehingga mereka membuat keputusan yang mereka anggap benar, namun kenyataannya hanya melanggar nilai-nilai agama yang mereka junjung tinggi dan mereka nggak sadar dengan hal itu.
    Untuk social media, yes, kita memang terpapar informasi based on our historical data and our news feed. Bagi perusahaan digital, they feed us with information that “they think” we need because they want to reach the “right audience” for effective campaigns done by their corporate clients. Menurut saya, ini sebenarnya ide yang bagus dan menghemat waktu pencarian kita. Misalnya, ketika kita hobi baca blog tentang travelling, google ads yang akan muncul kebanyakan adalah tentang tiket promo pesawat. I think it’s brilliant and effective (plus if we want other ads, we can always put other keyword in search engines).
    But, how it correlates with close-minded ness? Benar, metode ini akan membuat kita cenderung hanya mengkonsumsi informasi yang kita mau, tapi di dunia dengan perkembangan IT dan teknologi yang pesat, banjir informasi merupakan sesuatu yang tidak akan bisa kita cegah. We just need to train ourself to not accept whatever information we get the way it is. All information we have is just a tiny part for the bigger picture, so it’s necessary to take everything with grain of salt. While it’s important to stay true to our self and to protect our individual values, it’s also important to embrace diversity and practice respect for others who has different thought with us. It’s true that we might not always agree with everyone, but I am sure that everyone has input for larger perspective. I have same issues in whatsapp group too, it’s nice to debate and to explore different perspectives, as long as everyone in the group agree to disagree.

    1. Terima kasih atas commentnya, saya sangat setuju dengan pendapatnya, kita memang harus selalu waspada bahwa apa yang kita baca mungkin sekali sudah disaring dan diarahkan sesuai minat kita. Jadi kesadaran awal tentang ini adalah langkah pertama yang penting. Lalu langkah berikutnya menyadari perbedaanlah yang membuat kita belajar. Tanpa diberikan perbedaan oleh Allah SWT, manusia pasti sudah berhenti belajar, karena sudah tidak ada lagi variasi. Jadi jangan paksakan kesamaan, namun hargai perbedeaan.

Tinggalkan Balasan ke Ayu Batalkan balasan