Analisa Sistem Kasus KJS

Berita mundurnya 16 RS dari sistem KJS di Jakarta merupakan sebuah early warning bagi rencana pemerintah untuk memberlakukan sistem jaminan kesehatan yang akan diberlakukan di seluruh Indonesia. Kenapa kok baru sekarang permasalahan ini timbul? Ternyata sejak bulan maret, terjadi pemindahan sistem pembayaran, yang tadinya langsung dikelola oleh pemerintah daerah, ke sebuah perusahaan asuransi milik pemerintah yang rencananya tahun depan akan menjadi badan pengelola jaminan sosial.

Pemindahan sistem berarti pemindahan “cantolan” regulasi, yang berarti mencakup diantaranya siapa dan apa yang masuk dalam kategori KJS. KJS memang sebuah kebijakan politik yang populis dan menarik, ketika siapapun warga Jakarta ber-KTP boleh mendapatkan layanan kesehatan gratis tanpa memandang miskin atau tidak. Kriteria lainnya cuma kriteria sosial lisan saja “malu atau tidak”. Apa yang terjadi? ledakan jumlah pasien dan kasusnya. Kenapa tidak hanya pasien yang harus dihitung? karena saya pernah ngobrol di sebuah RSUD DKI Jakarta, dengan seorang pensiunan yang “hobi” barunya adalah nongkrong di RS. Si Bapak ini bilang, mumpung gratis, dalam sehari dia bisa minta ketemu 2 dokter, dan dalam sebulan secara rutin seminggu sekali dia ke dokter. Ndak masalah harus antri, toh dia tidak ada kerjaan lain.

Di sistem sebelumnya, hanya orang miskin dan rentan miskin yang mendapatkan fasilitas ini. Jadi saya membayangkan saat ini kedua kelompok ini harus “bersaing” mendapatkan pelayanan dengan kelompok lain, yang notabene bisa membayar sendiri biaya kesehatan dasarnya.

Mari kita lihat bagaimana analisa sistemik kasus ini.

image

Ledakan ini meningkatkan jumlah transaksi layanan kesehatan, yang berarti akan meningkatkan jumlah klaim ke pemerintah daerah, ini yang terjadi pada akhir tahun lalu. Ledakan jumlah transaksi ini juga menimbulkan antrian layanan serta menguras kualitas layanan kesehatan yang telah dirancang pada kapasitas yang lebih rendah dari permintaan yang melonjak mendadak.

Gejala ini yang akhir tahun lalu telah keluar, sehingga rencana solusinya adalah akan dialokasikan tambahan anggaran untuk peningkatan infrastruktur kesehatan (asik ada proyek fisik baru). Namun peningkatan infrastruktur tanpa alokasi pendidikan kesadaran pentingnya menjaga kesehatan akan tetap meningkatkan transaksi kesehatan. Apalagi kesadaran ini yang sudah cenderung berkurang akibat lebih “murah”nya orang ke dokter daripada menjaga kesehatan. Lagipula membangun RS baru, meningkatkan kapasitas pasti membutuhkan waktu yang tidak singkat, dan ketika selesai dibangun, jangan-jangan sudah membludak lagi,

Sehingga pemerintah daerah melakukan salah satu apa yang dikenal dalam dunia system thinking sebagai jebakan struktur sistem: shifting the burden/addiction, pergeseran tanggung jawab. Bagaimana kalau diserahkan kepada asuransi saja, hitungannya kan lebih enak, berdasarkan premi per orang. Apalagi sang perusahaan asuransi menjamin tidak ada masalah (lha namanya juga jualan).

Ternyata sang perusahaan asuransi memiliki “jurus” sakti untuk menghitung premi tersebut, yaitu yang dikenal sebagai ICBG, sebuah pengelompokan tarif layanan kesehatan berdasarkan diagnosanya. Namun ingat, namanya Indonesia, memangnya harga tanah di Indonesia sama semuanya? Bikin rumah di Jakarta dengan di Wonosobo apakah sama biayanya? Biaya hidup apakah sama? Apakah RS Swasta yang harus menanggung sendiri biaya pinjaman investasi dan operasional dapat disamakan dengan RS Pemerintah yang investasi tidak perlu dihitung, operasional disubsidi melalui gaji karyawan dan lain-lain?

Jurus sakti yang lain adalah menetapkan layanan kesehatan dan jenis obat yang bisa diganti, sebuah jurus yang pasti juga akan ampuh mengurangi volume transaksi. Namun prediksinya hal ini tidak akan dilakukan dalam waktu dekat, satu-satulah kalau memberitahu berita ndak enak. Ini berarti dokter akan memiliki keterbatasan dalam memberikan obat, dan harus selalu melihat obat apa yg akan diganti bukan obat yang sesuai

Tentunya karena sudah ditetapkan oleh Pemerintah, yaa anda harus nurut. Jurus sakti ini tentu akan bisa mengurangi total biaya layanan kesehatan. sehingga government budget akan aman, namun yang menjadi dampak salah satunya adalah berkurangnya partisipasi swasta yang terkaget-kaget karena tidak seperti sistem sebelumnya, penggantian yang terjadi hanya mencapai kurang dari setengahnya. Daripada mempermalukan pemerintah dengan “pura-pura” penuh serta menolak pasien, maka mereka memutuskan mundur.

Dampak dari mundur ini tentunya juga pengurangan kapasitas layanan, karena tidak mungkin sebenarnya pemerintah melayani sekian banyak transaksi yang terjadi, peran serta swasta dibutuhkan.

Lagipula agak aneh dalam logika saya, kalau nanti akhirnya semua pasien KJS hanya bisa dirawat di RS Pemerintah yang notabene di subsidi oleh Pemerintah, kemudian biaya layanannya dicover oleh perusahaan asuransi swasta dengan harga standard rendah, lalu perusahaan asuransi ini ternyata untung. Jadi pemerintah mensubsidi si perusahaan asuransi yaa? Yang lebih seru lagi, jadi RS Swasta saat ini yang rugi, sebenarnya mensubsidi siapa? Rakyat Miskin atau Perusahaan Asuransinya? Hmm asik juga model bisnis seperti ini. Karena yang dimarahin rumah sakitnya, yang senyam-senyum asuransinya.

Struktur sistem diatas hanya sebagian yang ditampilkan, aslinya lebih detail dan panjang, contohnya adanya pembahasan kecenderungan puskesmas meloloskan saja permintaan rujuk ke RS karena sudah kecapean sehingga fungsi filtrasi awal kasus penyakit tidak jalan, tidak dimasukkan. Sehingga pada struktur ini tidak ada solusi lain yang bisa diusulkan, namun struktur diatas diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap permasalahan. Usulan peningkatan premi, adalah hal yang sementara, karena inflasi pasti akan terjadi dan ini akhirnya akan tetap terjadi.

Well, politics is always short term.

9 komentar pada “Analisa Sistem Kasus KJS”

  1. Ketika sebuah sistem healthcare hanya didefinisikan sebagai gratis atau tidaknya biaya rumah sakit …. memang jualan politik hanya sampai situ yah Pak, bumbunya yang penting ada kata gratis.

  2. Apakah tidak sebaliknya Pak? artinya pemerintah daerah berfokus pada jangka pendek terlebih dahulu baru nantinya merestrukturisasi jangka panjang yaitu mengenai edukasi hidup sehat, walaupun seharusnya pola hidup sehat itu harus dimulai dari pribadi masyarakat itu sendiri. Tetapi dengan melihat pola pikir dan tingkat sosial masyarakat kita Pak, untuk mencapai keberhasilan program ini harusnya bagaimana? Karena kalau dilihat di lapangan masih banyak yang benar2 membutuhkan bantuan kesehatan walapun masih ada juga oknum-oknum yang memanfaatkan fasilitas ini.

    1. Sebuah solusi harus mempertimbangkan jangka pendek dan panjang sekaligus. Sederhananya kan jangka panjang adalah kumpulan jangka pendek. Kalau jangka pendek tidak berorientasi pada jangka panjang maka tidak akan terarah dan timbul penyakit “the next guy problem”.

      Untuk kasus ini, ukuran keberhasilannya yang terlalu politis. Bukannya kartu atau murah atau gratis biayanya tapi aksesibilitas terhadap layanan kesehatan yang bermutu bagi yang berhak (yang tidak mampu).

  3. Salam pak hidayatno, sekedar ingin diskusi. Menarik melihat fenomena kjs dan bpjs. Apa kita mmg benar2 ingin mnjd welfare state di era penuh kapitalisasi skrg ini atau hy sekedar bumbu politis kjs dan bpjs dan nantinya akan ada blsm ktk bbm naik di tahun politik. Keanehan muncul krn pemerintah langsung mengamanatkan pt. Askes dan jamsostek yg keduanya bumn. Berarti perusahaan plat merah, profit oriented dbwh naungan kem bumn. Sy juga blm tau bgmn nantinya cara pt. Askes dan jamsostek akan “memutar” uangnya layaknya perusahaan asuransi lain. Apkh nantinya uangnya akan dibelikan ori yang notabene akan mnjd pemasukan bg pemerintah. Sebuah simulakrum sementara upaya preventif dan promosi kesehatan jd semakin minim. Klo kata teman sy penyakit manusia jkt tdk sama spt manusia di daerah lain. Manusia jkt penyakitnya ginjal, jantung, diabetes yg seharusnya dg gaya hidup yg sehat dpt dikurangi resikonya. Sementara manusia indonesia di daerah penyakitnya mungkin polio, panu, kudis, kurap, busung lapar dll. Mungkin ini sedikit kegelisahan dr sy

    1. Pendapat yang menarik pak. Saya sih cenderung melihat bagaimana kita bisa tetap menjalankan welfare state dengan mengambil efisiensi maksimum yang terjadi pada sistem kapitalisasi. Namun ketia sebuah sistem berbeda dicoba dikumpulkan, maka perlu dievaluasi adalah bagaimana kita mengukur performa “bersama” dari kedua sistem tersebut. Dimana performa bersama ini biasanya akan menjadi trade-off dari performa setiap sistem. Di berpikir sistem, ini kita kenal sebagai sinergi.
      Ingat pemahaman sistem: an all star member, does not guarantee a star team.

      Salah satu prinsip sistem lainnya adalah desentralisasi, karena kompleksitas hanya bisa terurai ketika kita coba perkecil batasannya terlebih dahulu. Jadi saya setuju bahwa setiap daerah perlu memiliki kekhasannya masing-masing. Itu kenapa sebelumnya ada Jamkesda, yang berbasis kepada kondisi Jakarta, bukan nasional. Kondisi Jakarta: urban (penyakitnya juga urban), GDRP tertinggi (memungkinkan Private sector involvement), masalah kependudukan (KTP non-KTP yg berarti Bayar Pajak vs Numpang), Selalu disoroti pusat (komnas ham dll), Based on medical illness not based on insurance criteria dsb. Itu yang membuat Sistem Kesehatan Jakarta dimusuhi selama periode sebelumnya, sehingga di kampanyekan salah, karena sebenarnya it works tanpa mekanisme insurance yang pasti limiting, dan ini berbahaya kalau dilakukan secara nasional. Karena adanya pandangan bahwa pokoknya yang dilakukan sebelumnya salah, dan kita harus bikin BARU, maka masuklah kesan bahwa ini salah, padahal tidak.

      1. Bisa dikatakan demikian. Sebenarnya sih agak gampang untuk urusan politik, biasanya strukturnya adalah shift the burden/addiction to quick fix, karena naturenya begitu. Dalam ilustrasi diatas struktur kuratif lebih populis dan gampang, dibandingkan struktur edukasi hidup sehat, padahal pada jangka panjang akhirnya setiap orang untuk sehat harus dimulai dari dirinya sendiri, baru layanan kesehatannya.

Tinggalkan Balasan ke irvanu rahman Batalkan balasan