Hati-hati dengan Kontras tanpa basis Data

Saya sangat suka memperhatikan gaya orang membangun dan menyampaikan argumennya. Sebagai pengajar manajemen kualitas, saya sering kebingungan menghadapi rapat orang Indonesia, yang kebanyakan berdiskusi, berdebat bahkan bisa emosional tetapi bukan berlandaskan kepada data atau fakta, namun kepada asumsi dan persepsi. Masih mending jika asumsi diambil dari data.  Lebih sering asumsi diambil dari logika atau persepsi umum (common perception) yang suka melupakan ada konteksnya.

Logika tanpa fakta lebih berbahaya, karena biasanya akan lebih menyakinkan kebenarannya.

Logika berbasis kepada data bisa terasa kurang seru, karena bisa jadi ada beberapa bagian yang berlubang akibat data yang kurang lengkap, sehingga tidak bisa diambil keputusan. Lebih enak kalau tanpa fakta, karena lebih gurih dan lebih imajinatif. Lihat saja kesukaan pemirsa TV Indonesia terhadap acara gosip. Baik acara gosip beneran atau acara gosip terselubung (acara berita/news).

Derajat Kontras Hitam Putih
Derajat Kontras Hitam Putih

Kontras adalah cara yang paling mudah untuk membandingkan. Mata kita dilatih untuk lebih menangkap perbedaan warna yang memiliki kontras yang berbeda. Sehingga otak kita juga terlatih untuk melakukan versus (vs) dan or (atau). Yang sering saya dapatkan ketika pemilihan kandidat misalnya adalah fokus kepada kontras antara kandidat A vs kandidat B. Strateginya biasanya dua: SAMA atau BEDA/UBAH. Bagi yang pokoknya beda, nggak penting apakah perbedaan itu akan bisa diaplikasikan berdasarkan data yang ada, sehingga sebenarnya hanya sekedar janji saja. Bagi yang ubah, nggak penting apakah perubahan menjadi lebih baik atau tidak, yang penting berubah. Semuanya lebih sering tanpa data. Bagaimana prestasi calon pemimpin tersebut? Apa ukuran obyektif untuk mengukurnya? Lanjutkan membaca “Hati-hati dengan Kontras tanpa basis Data”