Mari Puasa Klik Berita dari Orang yang Mencari Popularitas

Tahukah anda, bahwa anda memiliki sebuah kuasa untuk melakukan perubahan terhadap perilaku para politikus atau selebritas kita. Setiap hari saya melihat ada seorang pejabat publik yang sengaja memiliki komentar harian yang bombastis, populis dan nyeleneh, supaya dia bisa masuk berita on-line. Bayangkan: SETIAP HARI!

Tetapi media on-line tidak bisa disalahkan karena mereka menimbang berita dari jumlah popularitas berita tersebut dari jumlah kliknya. Semakin diklik suatu berita maka diasumsikan berita yang sama akan dicari pada saat berikutnya, akibatnya semakin sering berita tersebut ditampilkan. Semakin sering berita tersebut ditampilkan akan menarik perhatian lainnya sehingga semakin di klik oleh orang lain.

Lebih seru lagi jika berita ini dimasukkan dalam status media sosial kita, dari facebook, path atau twitter. Facebook bahkan akan menganalisa bahwa anda “menyukai” nara sumber berita tersebut, sehingga berita dari situs lain akan dicarikan untuk ditampilkan oleh Facebook.

Lanjutkan membaca “Mari Puasa Klik Berita dari Orang yang Mencari Popularitas”

Kurva Belajar (Learning Curve) dalam Politik

Fenomena kurva belajar ternyata tidak saja ditemukan di teknik industri, namun juga ternyata berlaku pada masa transisi pergantian pimpinan daerah yang merupakan ranah politik. Di teknik industri, kurva belajar diajarkan pada kuliah faktor manusia, untuk memberikan pemahaman bahwa setiap produk baru akan membutuhkan waktu sebelum tingkat produktivitas akan menyamai produk lama. Produk baru akan membutuhkan penyesuaian dari operator lapangan untuk mempelajari peletakan, urutan operasi, apa yang perlu diperhatikan dan sebagainya. Perekayasa industri harus menyiapkan diri terhadap penurunan ini termasuk mencari cara agar kurva belajar berlaku dengan lebih cepat daripada kompetitor.

Pergantian gubernur di tempat saya tinggal sarat pula dengan fenomena kurva belajar. Dan saya yakin ini akan menjadi sebuah pembelajaran bagi masyarakat jakarta tentang dampak dari pergantian pimpinan dan lebih arif ketika mendengarkan janji-janji para calon yang tampil.
Lanjutkan membaca “Kurva Belajar (Learning Curve) dalam Politik”

Tetaplah berbasis Fakta: Pil-kada, Pil-rek UI dan Pil-Obat

It’s amazing that the amount of news that happens in the world every day, can always just exactly fits the newspaper. (Jerry Seinfeld)

A newspaper consists of just the same number of words, whether there be any news in it or not (Henry Fielding)

Beberapa waktu ini setiap saya bertemu teman lama, bertamu dan sedang keluar kota, salah satu pertanyaan yang sering diajukan kepada saya (dan hampir pasti diajukan adalah): Gimana UI? Siapa yang akan jadi Rektor? atau Seru tuh Pilkada DKI? Siapa yang akan menang?

Terlepas kepakaran saya di bidang pemodelan sistem yang banyak dipakai untuk mensimulasikan masa yang akan datang, saya bukanlah ahli nujum yang bisa memprediksi sebuah proses kompleks demokrasi, yang asumsi dan batasannya sulit sekali didefinisikan sehingga tidak mungkin dimodelkan. Namun dengan semangat kesopanan, saya akan melakukan 1 hal dalam jawaban saya: Yuk tetap berbasis kepada Fakta dalam mengambil keputusan terhadap berbagai “Pil” ini.


Dalam sebuah dialog internasional beberapa waktu yang lalu, seorang ekonom indonesia menceritakan pengalaman dia mengikuti sebuah sesi pertemuan di amerika yang salah satunya membahas kondisi Indonesia. Beliau bercerita bahwa salah seorang peserta mengatakan bahwa perkembangan ekonomi Indonesia tidaklah bisa dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia secara langsung, karena hanya Indonesia yang telah melakukan 2 perubahan besar sekaligus: struktur politik (orde baru ke reformasi) serta struktur pemerintahan (sentralisasi ke desentralisasi). Di negara lain biasanya hanyalah salah satu. Dalam sebuah perubahan, akan ada kebutuhan waktu untuk beradaptasi; semakin besar perubahannya, semakin lama waktu adaptasi yang dibutuhkan; semakin variatif perubahannya, semakin lama pula waktu adaptasinya; jadi semakin besar dan variatif? …. . Oh lanjutkan ceritanya: si peserta memuji Indonesia yang berani melakukan ini dan ternyata berhasil melaluinya (paling tidak hingga sekarang).

Jadi bangsa ini juga sedang melakukan proses adaptasi, termasuk juga untuk cara memilih pemimpinnya, yang juga berimbas ke kampus secara umum dan kampus UI secara khusus. Begitu banyak kepentingan dan “nostalgia” perjuangan di kampus UI, sehingga sebuah urusan yang biasanya masuk ke ranah organisasi, menjadi meningkat ke ranah politik nasional yang sarat dengan berbagai kepentingan yang tidak semuanya berujung ingin memajukan organisasi UI. Kemudian yang berpolitik bukanlah orang-orang yang bekerja mendedikaskan diri didalam organisasi tersebut. Ini sama saja dengan pemilihan lurah di Cikeas, bisa menjadi isu nasional, karena kebetulah ada presiden tinggal disitu. (untungnya dpr atau mendagri tidak kepentingan yaa di cikeas)

Teman-teman saya alumni UI ada yang mengatakan “malu” kenapa kok UI seperti itu, yang saya jawab bahwa seharusnya mereka sih bangga bahwa begitu banyak orang masih melihat UI sebagai simbol negara ini. Carut marutnya UI menunjukkan carut marutnya bangsa kita yang masih beradaptasi ini, dengan berbagai “eksperimennya” Dulu rektor dipilih oleh menteri, kemudian MWA, kemudian menteri lagi, nanti MWA lagi dst. seperti sebuah bandul yang bergerak dari ekstrim kiri dan kanan. Namun memang kita semua perlu “malu” jadi orang Indonesia, lah wong urusan sebuah kampus saja kok jadi urusan nasional.

Dengan alasan yang sama pilkada dki juga penuh dengan kepentingan, pemilih dki yang hanya 5 jt yang hidup dan tinggal di Jakarta, akan dibombardir dari berbagai hiruk pikuk ranah politik. Berbagai komentar dari publik nasional yang mungkin: (1) tidak pernah tinggal lama di Jakarta (2) hanya bekerja di Jakarta tetapi tinggal di daerah lain, mendominasi informasi yang beredar. Semuanya akan pasti sulit diproses, saya sendiri suka bercanda lagi sama teman-teman saya soal pilkada dki, eh yang tidak punya KTP Monas dilarang protes (simbol KTP di Jakarta adalah monumen nasional), yang berhak protes cuma yang punya KTP Monas, kan kita yang tinggal disini.

Dua fenomena yang saat ini sedang berjalan ini mirip dengan cerita teman saya ketika  memilih pasangan hidup di keluarga besar, yang mau nikah siapa tapi yang berkomentar, berpendapat keras, (namun biasanya sih nggak sampai pake demo), bisa menjadi topik berbulan-bulan dengan berbagai macam perasaan campur aduk, ada tangisan, ada tertawaan dan lain sebagainya. (mirip yaa ama pil-pil ini).

Dalam masa adaptasi, maka hiruk pikuk proses belajar akan sangat keras. Mirip anak taman kanak-kanan atau sekolah dasar yang sedang belajar. Hiruk pikuk ini harus disaring untuk membedakan mana hiruk pikuk belajar atau hiruk-pikuk bukan sedang belajar. Bagaimana caranya? Tetap berbasis kepada fakta bukan opini.

Apa fakta perubahan (angka) yang dilakukan oleh para kandidat tersebut (pertumbuhan finansial, pertumbuhan efisiensi organisasi, infrastruktur,dll). Oke jika memang beda skala, yuk kita skalakan, tapi tetap gunakan angka (fakta). Gunakan selalu kacamata kritis ketika melihat media, pilihlah untuk mendengarkan pengamat yang memang obyektif dan menjelaskan pola pikirnya – bukan “pengamat” yang subyektif dan hanya memberikan kesimpulan saja. Berita baik tidak akan mudah anda dapatkan, karena tidak menjual, maka saya sangat menghargai usaha beberapa teman melalui web atau jaringan sosial yang menyebarkan berita baik dan kisah sukses. Ingatlah selalu bahwa media adalah sebuah usaha bisnis, dan “bad news sell best”

Sama dengan memilih Pil untuk obat, seorang dokter pasti akan menguji lab untuk mendapatkan indikator obyektif kondisi badan anda, untuk melengkapi berbagai komplain yang diucapkan pasiennya. Karena komplain adalah gejala, bukan problemnya. Sama dengan hiruk-pikuk ini, ini adalah gejala bukan faktanya. Carilah fakta, carilah data. Dan jangan pula membentuk data sedemikian rupa untuk membenarkan apa yang salah atau membenarkan perasaan saja, karena perasaan anda bisa saja salah, pandanglah data dengan obyektif.

Pajak Kendaraan Pribadi: Pergeseran Paradigma Membeli, Memiliki, Menggunakan

Saat ini di Lab SEMS sedang ada penelitian mengenai dampak kebijakan low carbon transport di Jakarta dengan menggunakan model pembangunan berkelanjutan Jakarta berbasis sistem dinamis.  Salah satu yang akan dibahas adalah penerapan ERP atau Electronic Road Pricing sebagai salah satu komponen dalam manajemen transportasi kota serta sumber pendanaan tambahan (bukan utama) untuk mendukung transportasi publik. Maju mundur ERP terlepas dari masalah operasionalnya (singapura berhasil karena 1 pulau adalah 1 negara, jadi misalnya plat nomer, nggak ada yang pake plat nomer surabaya untuk masuk ke jakarta), ternyata yang terpenting adalah menuntut perubahan paradigma tentang pajak kendaraan pribadi.

Saya bayangkan kalau saya menjadi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maka saya akan menghadapi buah simalakama untuk menerapkan transportasi publik. Di satu sisi, pajak daerah terbesar di Jakarta adalah berasal dari pajak kendaraan baru. Manusia Jakarta semakin makmur semakin mendambakan memiliki mobil sebagai simbol status, yang kalau bisa punya lebih dari 1. Di sisi yang lain, fokus ke transportasi publik akan menjebol anggaran operasional pemerintah provinsi karena harus secara langsung membiayai “subsidi” dari operasional layanan publik.

Mungkin itu sebabnya kenapa fokus pembangunan infrastruktur transportasi lebih ke arah jalan (road based) , karena tinggal bangun dan pelihara jalan, maka orang akan membeli mobil atau motor untuk menggunakannya, efek dominonya adalah industri mobil yang berkembang dst. Mudah dan lebih murah, terlepas efek ekonomi negatif akibat kemacetan.

Jika berbasis kepada rel (rail based) maka biaya investasi, pemeliharaan dan operasional akan menjadi perdebatan yang tak ada habisnya (lihat aja PT KAI dan komuter linenya). MRT Jakarta misalnya, jika harus mendapatkan subsidi operasional nantinya karena tiketnya dipatok murah sesuai dengan keinginan wakil rakyat (DPRD) maka setiap tahun dalam bayangan saya harus mengajukan anggaran subsidi. Lah iya kalau APBD berjalan lancar pembicaraannya dan diketok Desember, kalau tiba-tibak diketoknya terlambat karena sok berantem, dan mundur diketoknya bulan februari. Apakah berarti MRT harus berhenti beroperasi? Kalau ndak, harus utang dulu dong, utang ke siapa? Kalau utang pake bunga komersial bisa diperiksa KPK karena “berpotensi” merugikan negara.

Lanjutkan membaca “Pajak Kendaraan Pribadi: Pergeseran Paradigma Membeli, Memiliki, Menggunakan”

Perspektif Korupsi di Teknik Industri sebagai Waste dalam Lean Thinking

Ketika saya sedang membangun model sistem dinamis pembangunan berkelanjutan untuk Indonesia, ada satu konstanta yang secara elegan diberi nama “budget effectiveness”, yang dihubungkan dengan variabel government spending (belanja pemerintah). Penterjemahan lapangan dari konstanta ini adalah “korupsi”. Tentunya dalam disertasi saya setelah dipertimbangkan dengan seksama akhirnya diputuskan untuk menghilangkan seluruh aspek politik sehingga nilai konstanta yang saya berikan adalah 100%, namun dalam prosesnya saya bertanya-tanya berapa nilai seharusnya yaa apakah 80% (20% korupsi), 75%, 70%, dan 60%. (Jadi ingat masa-masa jadi konsultan pemerintah, yang ternyata berbeda-beda, tidak ada konsensus nasional).

Sebagai Perekayasa Industri, saya menjadi tertarik untuk apakah memungkinkan melihat korupsi dalam kacamata kita, dan sementara ini kacamata yang cocok adalah kacamata ilmu lean thinking (lean management) dengan memandang korupsi sebagai waste. Lean adalah sebuah pola pikir untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi proses sehingga didapatkan aliran yang paling efisien untuk memberikan nilai yang diharapkan oleh pelanggan akhir. Karena berbasis pada pelanggan, maka proses yang dilakukan secara tidak langsung akan efektif. Jadi efisien dan efektif sebagai tujuan akhir perekayasa industri secara bersamaan dapat dicapai.

Nah kalau sebuah korupsi adalah waste, maka apakah dalam tools dan methods yang digunakan dalam lean ada yang bisa dipakai untuk mengatasinya?

Lanjutkan membaca “Perspektif Korupsi di Teknik Industri sebagai Waste dalam Lean Thinking”

Membumikan Konsep Transparansi di Pemerintahan

Transparansi adalah sebuah kata yang selalu menjadi dambaan publik jika kita lihat di media massa saat ini, tetapi seperti segala hal yang merupakan dambaan manusia biasanya memiliki wujud yang abstrak atau tidak jelas. Diskusi mengenai hal ini dengan kawan-kawan dimulai beberapa tahun yang lalu ketika mendesain proses perencanaan di Ibukota Jakarta. Salah satu hal yang ingin diintegrasikan dalam proses perancangan adalah bagaimana membuat sistem ini menjadi transparan sesuai dengan prinsip 10 Good Governance.  Tetapi ketika dicoba untuk dicari user requirementnya (daftar kebutuhan pengguna) sebagai basis validasi perancangan timbul kesulitan bagaimana mendefinisikannya, pertanyaan muncul: bagaimana sih wujud transparansi itu? apa ciri-ciri transparansi? apakah transparansi berarti telanjang?

Kata transparan menunjukkan bukan telanjang bulat yang diminta (dan bagi kaum lelaki terkadang transparan lebih menggoda). Selalu tetap ada batasan tentang apa yang bisa diketahui publik dan sebaiknya tidak diketahui publik. Dalam dunia swasta, perusahaan terbuka (Tbk.) yang dituntut untuk meningkatkan keuntungan bagi pemegang sahamnya, tentunya tidak akan menguraikan rencana strategi kompetitifnya. Hal ini akan membuat rencana itu diketahui pesaing sehingga akan mengurangi kapabilitas untuk meningkatkan keuntungan (yang diminta oleh pemegang saham).

Tetapi seperti kebiasaan bangsa Indonesia yang selalu suka yang abu-abu dan tidak jelas, maka perdebatan terkadang terjadi karena ada yang memandang abu-abu gelap dan ada yang memandang abu-abu terang – dan keduanya benar karena abu-abu. Seharusnya ada lembaga publik atau otoritas yang ditunjuk dan berani untuk membuat sebuah kriteria yang jelas untuk segala hal yang abu-abu ini, sehingga perdebatan tidak selalu meluas.

Setelah melalui perdebatan panjang di tim kerja, diputuskan untuk membagi konsep transparansi kepada 2 hal yaitu transparansi proses dan transparansi produk.

Transparansi proses berarti publik berhak mendapatkan akses untuk mengetahui bagaimana langkah-langkah sebuah kebijakan dibuat dan siapa yang berperan setiap langkah tersebut.

Transparansi proses memberikan gambaran kepada publik pada titik mana saat ini pembahasan tengah dilakukan. Publik dapat meminta untuk berperan dalam beberapa langkah baik secara langsung maupun melalui keterwakilan (tentunya tidak semua langkah) baik ketika proses dirancang (ketika UU dibuat, Perda atau peraturan hukum lainnya).

Apakah dengan memiliki sebuah langkah dalam membuka akses untuk memberikan masukan dari publik berarti sudah transparan? Konsep ini sangat populer, karena seperti sebuah bukti yang otentik bahwa pemerintah telah terbuka kepada kritik. Tetapi pengalaman mengamati sms center untuk seorang kandidat pemimpin daerah ternyata sebagian besar sms berisikan hal yang sama sekali tidak relevan, seperti minta sepeda motor, minta nama untuk anak yang akan lahir dsb. Konsep ini jarang memberikan kritik yang memang bisa untuk diimplementasikan dalam memperbaiki konten dari produk.

Transparani proses juga memberikan ketegasan dan kejelasan kepada publik apa yang bisa dilakukan ketika sebuah langkah sedang terjadi atau telah dilewati. Sebagai contoh, percuma anda mengkritisi eksekutif tentang anggaran ketika langkahnya sudah didalam proses pembahasan legislatif, kewenangan perubahan telah berpindah.

Transparansi produk berarti hasil dari proses harus langsung menjadi sebuah dokumen publik dan memastikan bahwa aksesibilitas dari publik terhadap produk tidak terhambat. Sering terdengar bahwa dokumen anggaran menjadi “langka” sehingga untuk mendapatkan akses harus dengan memberikan semacam apresiasi. Suatu hal yang tidak masuk diakal ketika prosesnya dibiayai oleh pajak publik dimana produknya adalah untuk mengatur pengeluaran yang dibiayai lagi oleh publik. Singkatnya subyek dan obyeknya adalah menggunakan daya publik, tetapi publik tidak memiliki akses mudah untuk membacanya, bahkan diperjualbelikan.

Kita belum memiliki undang-undang keterbukaan informasi sehingga pemerintah memang tidak diwajibkan untuk membuka dokumen yang prosesnya dibiayai oleh publik. Memang tidak semua dokumen harus dibuka, terutama yang dikategorikan rahasia negara tetap harus dirahasiakan. Tetapi yang penting, refleksi dari membaca UU sejenis di AS, ada sebuah proses dimana pengadilan negara dapat memutuskan apakah dokumen tersebut bisa dibuka atau tidak, seluruhnya atau sebagian.

Proses yang sederhana adalah semua dokumen publik harus diletakkan di semua perpustakaan negara, daerah, universitas, website negara dan sebagainya. Bahkan jika perlu semua kantor negara dan daerah wajib memiliki perpustakaan kecil untuk menyimpan dokumen publik ini.