Berubah dari Pemecahan Masalah ke Pencarian Masalah

Dalam diskusi topik skripsi dengan mahasiswa saya sering langsung mendapatkan pertanyaan tentang metode setelah si mahasiswa menceritakan permasalahan yang dia ingin dia fokuskan. Fokus kepada metode ini kelihatannya terjadi karena si mahasiswa ingin segera bekerja untuk menyelesaikan skripsinya, jadi pengin tahu apa yang harus segera dilakukan dengan mendapatkan metode yang tepat.

Pertanyaan yang sama juga sering saya dapatkan di blog ini. Ketika beberapa dari pembaca menceritakan bidang tempat dia ingin menyelesaikan masalah, lalu menanyakan metode yang tepat untu menyelesaikan. Padahal saya tahu bahwa yang disampaikan bukanlah masalah, namun masih “gejala” masalah.

Gejala masalah, bukanlah masalah sesungguhnya, karena gejala sebenarnya adalah dampak dari masalahnya. Gejala Panas Tinggi di tubuh adalah dampak dari berbagai kemungkinan penyakit: tipus, flu, DBD, bahkan patah hati. Tapi untuk mencari masalahnya atau bahkan akar masalah (sumber dari segala sumber masalah) adalah langkah yang harus anda lakukan sebelum memilih metodenya.

Kelemahan untuk melihat gejala dan tidak meluangkan waktu untuk memikirkan akar masalah inilah yang membuat mengapa permasalahan bisa terulang kembali, tidak diselesaikan atau bahkan menimbulkan masalah baru.

Switching from Problem Solving to Problem Finding..

Percuma anda memiliki metode yang kuat, kemampuan pemecahan masalah yang cepat, tapi ternyata problem yang diselesaikan adalah salah. Ini mirip prinsip GIGO  Garbage In Garbage Out, semakin cepat komputer maka semakin cepat pula proses GIGO akan berlangsung. Jadi kemampuan proses tidak akan membantu jika inputnya salah.

Itu mungkin mengapa dalam ilmu kualitas dikenal konsep PDCA – Plan, Do, Check dan Action, yaitu konsep untuk melakukan perencanaan sebelum melaksanakan peningkatan. Ini untuk memberikan gap sebelum ada memilih cara untuk menyelesaikan permasalahan (di kualitas pemilihan cara merupakan fase Do, bukan Plan).

Ketika saya menjadi konsultan untuk sebuah proyek yang dibiayai oleh JICA Japan International Cooperation Agency, saya sering harus mengikuti dan mendampingi proses “fact finding” meeting. Setiap deviasi dari agreement yang telah disepakati, JICA akan mengirimkan tim untuk melakukan ini. Dan kami yang membantu, seperti merasa di audit, karena sebelum meeting mereka biasanya mengirimkan sebuah daftar pertanyaan yang berhubungan dengan deviasi yang terjadi sebagai bahan rapat. Dan jangan bayangkan rapatnya seperti rapat di negara kita yang hanya  2 jam lalu pergi lalu …. ya sudahlah. Tapi bisa berlangsung berhari-hari hingga larut malam sehingga mereka mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan tanpa adanya misinterpretasi diantara kedua pihak.

Apapun namanya: Pendefinisian Masalah, Fact Finding, Pemahaman masalah, Perencanaan pemecahan masalah atau lain-lainnya … Jangan Lupa untuk selalu memfokuskan dulu ke problem finding sebelum ke problem solving.
 

Kombinasi penting Kemauan dan Kemampuan untuk merubah Batas

image

Masih ingat bahwa orang tua kita atau anda sendiri harus mencetak foto untuk melihat hasil jepretan kamera? Bagi generasi saat ini mungkin pertanyaannya adalah kenapa “harus”? kan bisa dicek dulu di HP atau komputer, kalau oke dan perlu baru dicetak. Tapi di masa dimana HP masih belum ada, komputer masih besar berat mahal, maka tidak ada jalan lain untuk melihat hasil jepretan kamera, kecuali dicetak di toko cetak foto. Jadi cetak hanya jika benar-benar perlu.

Tahukah anda 2 perusahaan yang paling terdampak dengan perubahan kebiasaan ini?
Lanjutkan membaca “Kombinasi penting Kemauan dan Kemampuan untuk merubah Batas”

Kemiripan Teknik Industri dan Arsitektur

Dalam blog ini, saya baru saja menjawab sebuah pertanyaan yang meminta konfirmasi tentang pandangan umum bahwa Teknik Industri itu belajar banyak hal, sehingga tidak dalam dibandingkan dengan keilmuan teknik lainnya. Akibatnya terdapat tuduhan bahwa TI bukan ahli atau kalah ahli…

Jawaban atas pertanyaan itu menimbulkan ide untuk menganalogikan keahlian perekayasa industri dengan keahlian arsitek dari keilmuan arsitektur. Bidang ilmu arsitektur di Universitas Indonesia terletak di fakultas teknik, namun mereka “melepaskan” kata teknik, sehingga bukan teknik arsitektur tapi hanya arsitektur. Mungkin karena tidak tahan dituduh bukan ilmu teknik, kurang ahli, dll. Mirip seperti yang terjadi dengan teknik industri saat ini (ditambah tuduhan: matematika fisikanya kurang, teknik kok belajar manajemen).

Anggapan orang tentang luasan keilmuan teknik industri adalah wajar, karena persepsi umum dalam belajar ilmu teknik adalah spesialisasi. Sehingga jika ada yang seperti TI yang spesialisasinya adalah generalis sistematis, dianggap aneh dan tidak ahli. Padahal inti utama keilmuan teknik industri adalah kemampuan mengkombinasikan elemen sehingga timbul solusi yang efisien dan efektif.

Dalam apa yang saya baca, jika melihat disiplin ilmu arsitektur, banyak arsitek kawakan yang mampu menghasilkan karya besar dengan melakukan kombinasi terhadap berbagai elemen alam. Apakah dia tidak ahli, karena dia hanya memiliki sedikit ilmu tanah, ilmu bangunan, ilmu lingkungan dan ilmu air? 
Artinya dia tetap ahli, cuman bukan pada bidang ilmu tertentu tetapi mengkombinasikan ilmu-ilmu lainnya. Dia perlu tahu ilmu-ilmu tersebut pada tingkat kedalaman yang berbeda-beda supaya memiliki bekal cukup untuk membuat berbagai kombinasi solusi atau desain. Dia membutuhkan ahli bidang lainnya untuk berdiskusi tentang pendobrakan limitasi akibat perkembangan teknologi. Millennium Dome di kota London, Inggris mendobrak dengan sebuah bangunan luas dengan hanya bahan “plastik”.

Seorang perekayasa industri juga harus mampu melakukan hal yang sama. Setiap elemen dalam menyusun sebuah sistem terintegrasi harus disusun sedemikian rupa tanpa melanggar hukum ilmu alam, hukum manusia, aturan keuangan, sifat material dll. Dia bileh bahkan wajib berkonsultasi secara tim dengan bidang ilmu lainnya untuk mendapatkan keunggulan lebih dalam desain solusinya.

Tentu bukan berarti semua hal akan dipelajari, hanya elemen-elemen penting saja, dan ini cukup memadai. Permainan catur menjadi asyik bukan karena banyaknya komponen, tetapi karena berbagai kemungkinan pergerakan dari setiap elemennya. dimana setiap elemen memiliki aturannya yang harus dipelajari dan ditaati terlebih dahulu. Prajurit hanya bisa maju mundur lurus kecuali mengambil alih area yang diduduki musuh. Kuda hanya bisa bergerak dalam pola L, dan aturan lainnya. Bahkan dengan ada aturan seperti itu yang sebenarnya membatasi kemungkinan permainan, tetap menghasilkan kompleksitas permainan yang luar biasa.

Jadi TI tetap ahli, namun ahli yang berbeda.

Katakan TIDAK untuk YA yang lebih besar

Salah satu kesulitan yang sering saya hadapi adalah untuk menolak ketika ada kawan atau tamu yang meminta waktu untuk bertemu atau bantuan, padahal saya sedang memiliki banyak hal yang penting yang harus saya lakukan.

Mengucapkan “tidak” menjadi sulit bagi saya pribadi karena ada semacam dorongan untuk menjadi orang baik dengan persepsi bahwa kita harus selalu membantu teman atau menerima tamu. Walaupun ini sebenarnya tidak tepat. Karena jika memang teman adalah teman dan tamu adalah tamu yang sopan, tentunya dia tidak perlu marah atau menganggap kita adalah orang yang tidak baik jika kita tolak setelah kita berikan alasannya. Kita juga bisa minta waktu lain yang lebih longgar nantinya. Dia akan mengerti dan seharusnya tidak menganggap kita orang yang tidak baik karena menolak. Karena jika itu yang terjadi maka sebaiknya anda tidak berteman dengan dia.

Ada sebuah kalimat mutiara yang saya pakai dalam situasi semacam ini yaitu kita harus bisa berkata tidak untuk mendapatkan ya yang lebih besar. YA yang lebih besar adalah hasil dari pekerjaan yang memang harus kita lakukan untuk kepentingan kita sendiri. Buat apa kita mengiyakan banyak hal tapi akhirnya untuk hal hal yang penting kita TIDAK bisa meraihnya.

Prinsip ini juga diterapkan dibidang keilmuan teknik industri yaitu lean operations atau lean management. Sebuah prinsip manajemen operasi yang berfokus untuk melakukan proses penting dan berhubungan erat kepada pembuatan nilai tambah bagi pelanggan . Segala macam hal yang tidak berhubungan erat dikatakan tidak supaya YA yang dihasilkan bagi pelanggan menjadi optimal dengan cara yang paling efisien.

Prinsip budaya 5S merupakan perwujudan dari tidak untuk hal hal kecil supaya dapat hasil YA yang lebih besar. 5S: seiri, seiton, seiso, seiketsu, and shitsuke diterjemahkan ke bhs inggris menjadi Sort, Straighten, Sweep, Standardise and Sustain, lalu sering diindonesiakan menjadi 5R: Ringkas, Rapi, Rawat, Resik dan Rajin. Budaya disiplin melakukan 5S menjadi landasan budaya dalam melakukan perbaikan terus menerus ala lean management.

Ilustrasinya adalah jika meja kerja kita menggunakan 5S maka karena semua rapi dan ada pada tempatnya maka kita bisa bekerja diatas meja dengan lebih efisien. Jika berantakan dan kita butuh gunting maka waktu akan terbuang untuk mencari gunting. Atau  yang lebih parah lagi  kita baru sadar bahwa kita tidak punya gunting. Ini membuat 5S juga bisa menunjukkan kepada organisasi untuk melakukan identifikasi inti masalah yang lebih penting karena tidak terbebani oleh masalah rutin akibat ketidakdisiplinan.

Sudahkan anda katakan Tidak untuk Ya yang lebih besar?

Berlomba Jangan Dipandang sebagai Bertanding

Berlomba berbeda dengan bertanding. Dalam bertanding ukurannya adalah menang dan kalah. Sedangkan dalam berlomba ukurannya adalah apakah kita sudah bisa lebih baik dari sebelumnya, dan ini lebih penting. Berlomba juga memberikan gambaran dimana kah posisi kita saat ini relatif dengan yang lain, sehingga kita terpacu untuk bisa semakin membaik nantinya. Kita juga bisa mencontoh disiplin dan cara bagaimana yang lain yang lebih baik dari diri kita. Dan konsep ini dalam manajemen kualitas disebut sebagai sebuah proses benchmarking.

Original BenchmarkBenchmark diterjemahkan secara harfiah adalah tanda (mark)  berbentuk bench (kursi atau bangku) yang artinya terlihat dengan jelas untuk dijadikan patokan dimana posisi kita saat ini. Kalau anda masih sempat jalan darat ke kota-kota di Indonesia, terutama di jawa, maka biasanya akan ada patokan jarak ke kota berikutnya yang berbentuk cetakan beton atau semen berbentuk mirip kursi. Itulah mengapa benchmarking diterjemahkan sebagai patok duga (bukan sekedar dialih bahasakan menjadi kursi penanda).

Benchmark tidak utk menang kalah tapi untuk mengetahui posisi kita dan apa yangbisa kembangkan dari organisasi kita .  Benchmarking juga tidak harus pada industri yang sama, bisa berbeda tapi memiliki kesamaan proses atau bagian tertentu.  Misalnya anda di bisnis perawatan alat berat, maka benchmarking bisa dilakukan ke bisnis perawatan pesawat terbang yang memiliki keketatan standar international yang jauh lebih ketat.

Berlomba jadinya bisa dikatakan sebagai bertanding dengan diri sendiri. Dan kalau kita bertanding dengan diri sendiri, maka kita bisa menang dan kalah sekaligus. Namun ketika kita memutuskan untuk untuk mulai berlomba kita sebenarnya sudah menang. Kita menang karena mengalahkan ketakutan untuk tahu bahwa kita mungkin saja tidak lebih baik dari banyak orang. Kita memulai masuk ke dunia baru improvement yang bisa jadi tidak pasti ujungnya kemana, yang berarti bisa saja akan kalah. Tapi kan kalahnya untuk lebih baik.

Tapi jika memang menang dibandingkan orang lain masih penting buat anda, paling tidak anda sudah menang dibandingkan dengan yang tidak ikut berlomba.
Jadi intinya adalah yang terpenting apa perbaikan berikutnya? What’s the next improvement?

Lebaran dan Re-engineering dalam Teknik Industri

Salah satu makna lebaran adalah memulai kembali berjalannya kehidupan dengan kertas putih baru melalui arti dari Idul Fitri yaitu kembali ke fitrah. Setelah kita umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan satu bulan penuh maka manusia pada hari itu laksana seorang bayi yang baru keluar dari dalam kandungan yang tidak mempunyai dosa dan salah.

Hal ini mengingatkan saya pada salah satu konsep Business Process Re-engineering atau BPR yang pernah populer di tahun 80an sebagai sebuah konsep peningkatan kualitas yang luas, menyeluruh serta radikal dan berbeda dengan business process improvement yang bersifat lebih kecil. BPR memiliki pesona karena siapa yang tidak mau memiliki kemampuan yang meloncat jauh ke depan sehingga sulit atau lama akan dapat disamakan oleh kompetitor. Namun konsep ini ternyata banyak sekali memiliki syarat yang harus dipenuhi sehingga ketika ada satu syarat saja yang kurang siap maka hasilnya akan tidak sebanding dengan pengorbanan yang harus dilakukan. Sehingga pada akhir 90an banyak yang lempar handuk terhadap konsep ini dan tetap memilih BPI bukan BPR karena memiliki resiko lebih kecil.

Lanjutkan membaca “Lebaran dan Re-engineering dalam Teknik Industri”

Apa kompetensi puncak seorang teknik industri?

Kompetensi Puncak merupakan terjemahan dari capstone competency. Capstone merupakan singkatan dari “captain stone”, yaitu ada batu kapten. Seorang kapten biasanya berada di depan atau diujung paling atas dalam sebuah rantai komando di lapangan, sehingga istilah ini artinya adalah kompetensi yang merupakan gabungan kombinasi dari berbagai kompetensi sebelumnya atau dasarnya.

Istilah ini penting dipahami bagi perekayasa industri, karena bisa menjelaskan mengapa struktur perkuliahan di TI dirancang seperti sekarang. Namun penjelasannya tidak mudah jika tidak mengerti peran dan pentingnya Captain Stone.

Captain Stone sangat penting karena tanpanya, struktur dibawah akan berantakan. Sama dengan sebuah regu tentara, tanpa pimpinan yang menyelaraskan maka regu akan tidak mencapai produktivitas maksimum bahkan bisa tercerai berai.
image

Jadi di Teknik Industri, capstone memiliki 2 makna utama.

Lanjutkan membaca “Apa kompetensi puncak seorang teknik industri?”