Apa kompetensi puncak seorang teknik industri?

Kompetensi Puncak merupakan terjemahan dari capstone competency. Capstone merupakan singkatan dari “captain stone”, yaitu ada batu kapten. Seorang kapten biasanya berada di depan atau diujung paling atas dalam sebuah rantai komando di lapangan, sehingga istilah ini artinya adalah kompetensi yang merupakan gabungan kombinasi dari berbagai kompetensi sebelumnya atau dasarnya.

Istilah ini penting dipahami bagi perekayasa industri, karena bisa menjelaskan mengapa struktur perkuliahan di TI dirancang seperti sekarang. Namun penjelasannya tidak mudah jika tidak mengerti peran dan pentingnya Captain Stone.

Captain Stone sangat penting karena tanpanya, struktur dibawah akan berantakan. Sama dengan sebuah regu tentara, tanpa pimpinan yang menyelaraskan maka regu akan tidak mencapai produktivitas maksimum bahkan bisa tercerai berai.
image

Jadi di Teknik Industri, capstone memiliki 2 makna utama.

Lanjutkan membaca “Apa kompetensi puncak seorang teknik industri?”

Pajak Kendaraan Pribadi: Pergeseran Paradigma Membeli, Memiliki, Menggunakan

Saat ini di Lab SEMS sedang ada penelitian mengenai dampak kebijakan low carbon transport di Jakarta dengan menggunakan model pembangunan berkelanjutan Jakarta berbasis sistem dinamis.  Salah satu yang akan dibahas adalah penerapan ERP atau Electronic Road Pricing sebagai salah satu komponen dalam manajemen transportasi kota serta sumber pendanaan tambahan (bukan utama) untuk mendukung transportasi publik. Maju mundur ERP terlepas dari masalah operasionalnya (singapura berhasil karena 1 pulau adalah 1 negara, jadi misalnya plat nomer, nggak ada yang pake plat nomer surabaya untuk masuk ke jakarta), ternyata yang terpenting adalah menuntut perubahan paradigma tentang pajak kendaraan pribadi.

Saya bayangkan kalau saya menjadi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maka saya akan menghadapi buah simalakama untuk menerapkan transportasi publik. Di satu sisi, pajak daerah terbesar di Jakarta adalah berasal dari pajak kendaraan baru. Manusia Jakarta semakin makmur semakin mendambakan memiliki mobil sebagai simbol status, yang kalau bisa punya lebih dari 1. Di sisi yang lain, fokus ke transportasi publik akan menjebol anggaran operasional pemerintah provinsi karena harus secara langsung membiayai “subsidi” dari operasional layanan publik.

Mungkin itu sebabnya kenapa fokus pembangunan infrastruktur transportasi lebih ke arah jalan (road based) , karena tinggal bangun dan pelihara jalan, maka orang akan membeli mobil atau motor untuk menggunakannya, efek dominonya adalah industri mobil yang berkembang dst. Mudah dan lebih murah, terlepas efek ekonomi negatif akibat kemacetan.

Jika berbasis kepada rel (rail based) maka biaya investasi, pemeliharaan dan operasional akan menjadi perdebatan yang tak ada habisnya (lihat aja PT KAI dan komuter linenya). MRT Jakarta misalnya, jika harus mendapatkan subsidi operasional nantinya karena tiketnya dipatok murah sesuai dengan keinginan wakil rakyat (DPRD) maka setiap tahun dalam bayangan saya harus mengajukan anggaran subsidi. Lah iya kalau APBD berjalan lancar pembicaraannya dan diketok Desember, kalau tiba-tibak diketoknya terlambat karena sok berantem, dan mundur diketoknya bulan februari. Apakah berarti MRT harus berhenti beroperasi? Kalau ndak, harus utang dulu dong, utang ke siapa? Kalau utang pake bunga komersial bisa diperiksa KPK karena “berpotensi” merugikan negara.

Lanjutkan membaca “Pajak Kendaraan Pribadi: Pergeseran Paradigma Membeli, Memiliki, Menggunakan”

Perspektif Korupsi di Teknik Industri sebagai Waste dalam Lean Thinking

Ketika saya sedang membangun model sistem dinamis pembangunan berkelanjutan untuk Indonesia, ada satu konstanta yang secara elegan diberi nama “budget effectiveness”, yang dihubungkan dengan variabel government spending (belanja pemerintah). Penterjemahan lapangan dari konstanta ini adalah “korupsi”. Tentunya dalam disertasi saya setelah dipertimbangkan dengan seksama akhirnya diputuskan untuk menghilangkan seluruh aspek politik sehingga nilai konstanta yang saya berikan adalah 100%, namun dalam prosesnya saya bertanya-tanya berapa nilai seharusnya yaa apakah 80% (20% korupsi), 75%, 70%, dan 60%. (Jadi ingat masa-masa jadi konsultan pemerintah, yang ternyata berbeda-beda, tidak ada konsensus nasional).

Sebagai Perekayasa Industri, saya menjadi tertarik untuk apakah memungkinkan melihat korupsi dalam kacamata kita, dan sementara ini kacamata yang cocok adalah kacamata ilmu lean thinking (lean management) dengan memandang korupsi sebagai waste. Lean adalah sebuah pola pikir untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi proses sehingga didapatkan aliran yang paling efisien untuk memberikan nilai yang diharapkan oleh pelanggan akhir. Karena berbasis pada pelanggan, maka proses yang dilakukan secara tidak langsung akan efektif. Jadi efisien dan efektif sebagai tujuan akhir perekayasa industri secara bersamaan dapat dicapai.

Nah kalau sebuah korupsi adalah waste, maka apakah dalam tools dan methods yang digunakan dalam lean ada yang bisa dipakai untuk mengatasinya?

Lanjutkan membaca “Perspektif Korupsi di Teknik Industri sebagai Waste dalam Lean Thinking”

Selamat Tahun Baru 2012

Tahun baru bermakna kebaruan, resolusi hidup baru, belajar hal yang baru, menemukan kembali hal “lama” menjadi baru.

Tentunya kebaruan bisa pula menimbulkan sedikit ketakutan akan timbulnya ketidakpastian baru.

Therefore, allow me to share a nice story that I read this morning:

After Observing O Sensei, the founder of Aikido, sparring with an accomplished fighter, a young student said to the master: “You never lose your balance, what is your secret?”
“You are Wrong”, O Sensei Replied, “I am constantly losing my balance. My skill lies in my ability to regain it“.

Dengan terus membarukan pengetahuan kita, maka kita akan memiliki kemampuan untuk cepat untuk beradaptasi.

Happy New Year 2012

May we keep on learning by trying new things, even finding new “old” things.

Pentingnya Peran Pendukung (Bidang Kerja Teknik Industri 2)

Hari ini di kampus, kami kedatangan seorang alumni yang berprofesi sebagai arsitek untuk mencari tenaga teknik industri untuk bekerja di grup perusahaannya sebagai asisten direktur utama yang bertugas meningkatkan efisiensi dan efektivitas usahanya. Sebuah diskusi menarik timbul karena ternyata dia ditugaskan secara spesifik ke TI karena kebutuhan yang mendesak serta pengakuan kemampuan perekayasa industri untuk  menetapkan kontrol utama kepada setiap proses sehingga kerugian akibat ineffisiensi dapat ditekan.

Berita ini menarik saya untuk menulis tentang pentingnya peran pendukung, yang terkadang tidak terlihat di luar atau langsung, tetapi berperan sangat penting dalam menciptakan "konsistensi” kualitas layanan langsungnya. Dan sebagai teknik industri pada dewasa ini, sangat besar kemungkinan anda tidak akan bekerja sebagai pemeran utama klasik sesuai bidang ilmu anda di bidang manufaktur misalnya sebagai PPIC manager, QC atau lainnya. Banyak alumni yang bekerja dibidang jasa atau dibidang manufaktur tetapi berbasis proses kimia (pabrik semen, minyak dan energi, minuman, consumer goods, farmasi dll).

Pada bidang-bidang ini, perekayasa industri memang akan banyak berperan sebagai peran pendukung dan peran pendukung ini jangan dianggap lebih kecil daripada pemeran utama, bahkan peran pendukung sebenarnya jauh lebih penting daripada pemeran utama

Lanjutkan membaca “Pentingnya Peran Pendukung (Bidang Kerja Teknik Industri 2)”

Membumikan Keberlanjutan bagi Teknik Industri

Topik tentang sustainability yang diterjemahkan bisa ke “keberlanjutan” atau “kelestarian” telah semakin mengemuka di dunia seiring dengan kejadian cuaca buruk dan tidak terduga yang terlihat semakin sering melanda dunia, yang kita rasakan bersama. Terlepas dari kontroversi dan perdebatan tentnag pemanasan global dengan adanya pendapat bahwa peristiwa ini adalah peristiwa “natural” rutin tanpa ada campur tangan manusia, sebagai perekayasa industri, kita semua wajib memasukkan unsur keberlanjutan kedalam fokus perhatian kita.

Kita sadari atau tidak, kita telah menkonsumsi energi dan sumber daya yang semakin lama semakin besar dibandingkan pendahulu kita. Dulu orang membeli daging dengan dibungkus daun singkong (sehingga sampai ada joke kotornya he..he..), sekarang we go to nearest hypermart that use plastics. Plastics use more energy and more non-degradable waste. Jadi adalah tugas kita, untuk menjadi pendahlu dari anak cucu kita, mempertimbangkan gaya hidup dan pendekatan pemecahan masalah. Saya pribadi yakin Perekayasa Industri (Industrial Engineers), memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi pemimpin dalam usaha ini.

Tapi pertanyaan bagi kita semua adalah, apa yang bisa kita lakukan?

Setelah membaca berbagai majalah dan jurnal, dan yang terakhir saya sedang membaca special report dari majalah MIT Sloan Management Review: Sustainability as Competitive Advantage, saya tiba pada pada kesimpulan bahwa peranan kita adalah menggunakan pendekatan dan metode di Teknik Industri untuk sebuah target baru (old proven ways with new indicators)

Lanjutkan membaca “Membumikan Keberlanjutan bagi Teknik Industri”

Mengapa kesimpulan di “tarik” ?

Dalam seminar untuk mahasiswa yang sedang mengambil skripsi beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah langkah dalam metodologi yang ditulis “Menarik Kesimpulan”. Tulisan ini menarik perhatian saya, karena biasanya mahasiswa menulisnya dengan hanya “Kesimpulan”. Saya baru menyadari bahwa memang kata predikat yang tepat untuk kesimpulan memang menarik, bukan mengambil, mendapatkan atau menghasilkan, karena kesimpulan diambil dari kata benda “simpul”.

Simpul dalam kamus besar bahasa indonesia adalah ikatan pada tali atau benang. Untuk menguraikan benang atau tali kusut yang terdiri lebih dari 2 benang maka biasanya kita harus mencari simpulnya, artinya kita harus memulai dari suatu benang kemudian menarik benang hingga mendapatkan simpulnya. Bukan langsung “mengambil” simpulnya, kecuali dari awal memang sudah anda tahu simpulnya disitu.

Untuk benang-benang yang saling bersimpulan (seperti jaring laba-laba), maka menarik simpul berarti mencari dimana simpulnya berada, karena simpul merupakan titik terkuat dari benang tersebut. Yang saya maksud terkuat adalah, kekuatan dari seluruh “konstruksi” benang akan tergantung dari kekuatan simpulnya, bukan kepada kekuatan masing-masing benang. Benangnya bisa dari baja yang mampu menahan 10 satuan gaya misalnya, tetapi jika simpulnya hanya mampu menahan 5, maka keseluruhan konstruksi adalah 5.

Untuk benang yang kompleks, simpul juga tidak hanya satu, bisa beberapa. Biasanya ada simpul yang paling dominan, ada yang tidak.

Dalam konteks analisa, maka kesimpulan bukan hanya menunjukkan hasil yang didapat dari pengolahan data, tetapi lebih luas. Kesimpulan bisa berupa:

  • Pemahaman baru terhadap prosesnya (ternyata ketika kita “mencari” simpul ada hal-hal yang baru dan menarik untuk disampaikan)
  • Penjabaran akar permasalahan (kenapa menurut kita ini adalah akar masalahnya)
  • Pengalaman yang dialami ketika melakukan “penarikan” kesimpulan

sehingga menurut saya, kesimpulan tidak harus mengandung usulan solusi, tetapi apa yang kita dapatkan dari keseluruhan proses analisa yang telah kita lakukan.