Memori Institusi

Ketika kita berbicara tentang memori, biasanya yang pertama terlintas di benak adalah memori manusia—kemampuan kita untuk menyimpan, mengingat, dan menggunakan kembali informasi dari pengalaman masa lalu. Namun, konsep serupa juga berlaku dalam organisasi dan pemerintahan dalam bentuk memori institusi (institutional memory).


Apa Itu Memori Institusi?

Memori institusi adalah kumpulan pengetahuan, pengalaman, kebijakan, prosedur, dan praktik yang telah dikembangkan oleh suatu organisasi atau institusi dalam jangka waktu tertentu. Ini mencakup bagaimana keputusan diambil, bagaimana masalah dipecahkan, serta bagaimana budaya dan nilai-nilai berkembang dalam suatu organisasi.

Memori institusi dapat berupa:

  • Dokumentasi tertulis, seperti arsip kebijakan, laporan, dan peraturan.
  • Sistem dan prosedur, seperti SOP (Standard Operating Procedures) dan mekanisme koordinasi.
  • Pengalaman individu, yang diwariskan secara informal melalui mentoring atau pembelajaran di tempat kerja.
  • Norma dan budaya organisasi, yang membentuk kebiasaan dan bagaimana institusi beroperasi dan berinteraksi dengan pihak lain.

Apakah Memori Institusi Mirip dengan Memori Manusia?

Dalam banyak hal, ya. Seperti halnya manusia yang mengandalkan memori untuk bertindak berdasarkan pengalaman masa lalu, institusi juga bergantung pada memori institusi untuk mempertahankan keberlanjutan dan efektivitasnya.

Namun, ada beberapa perbedaan utama:

  • Memori manusia bersifat biologis, sementara memori institusi bersifat sosial dan struktural. Jika individu meninggalkan suatu institusi tanpa mewariskan pengetahuannya, memori institusi bisa hilang, sementara dalam manusia, memori tetap ada selama individu tersebut hidup.
  • Memori manusia lebih fleksibel dan adaptif, sedangkan memori institusi sering kali lebih kaku karena terikat pada aturan dan birokrasi.
  • Memori manusia dapat bertahan meskipun tidak terdokumentasi, sementara memori institusi sangat bergantung pada mekanisme pencatatan dan transfer pengetahuan.

Ketika memori institusi terjaga dengan baik, sebuah organisasi atau pemerintahan dapat belajar dari masa lalu, menghindari kesalahan berulang, dan mempertahankan kesinambungan kebijakan serta koordinasi yang efektif. Namun, ketika memori institusi lemah atau terputus—misalnya karena pergantian kepemimpinan yang terlalu sering tanpa mekanisme transfer pengetahuan—maka kebijakan cenderung berjalan tanpa kesinambungan, masalah lama berulang, dan efektivitas organisasi menurun.

Ini yang sedang kita rasakan, ketika banyak orang melihat pada aspek anggaran, maka melihat dampaknya kepada kesinambungan pola kerja juga perlu diperhatikan.

Apakah ada aspek negatif dari memori institusi?

ada juga aspek negatif dari memori institusi yang terlaku kuat dan memberikan dampak negatif, yaitu ketika Memori Institusi menjadi perangkap sehingga kita sulit berubah?

Memori institusi tidak selalu menjadi aset yang membantu organisasi atau pemerintahan bekerja lebih baik. Dalam beberapa kasus, memori institusi justru dapat menjadi jebakan yang menghambat inovasi, adaptasi, dan perbaikan kebijakan. Ini sering terjadi ketika praktik lama dipertahankan tanpa mempertimbangkan perubahan konteks atau tantangan baru.

Salah satu cara memori institusi menjebak kita adalah dengan menciptakan status quo bias—keyakinan bahwa cara lama selalu yang terbaik karena pernah berhasil di masa lalu. Ketika suatu kebijakan atau metode pernah membawa kesuksesan di era tertentu, organisasi cenderung mempertahankannya, meskipun kondisi eksternal sudah berubah drastis.

Memori institusi juga dapat menciptakan kelembaman institusional (institutional inertia)—suatu kondisi di mana organisasi sulit berubah karena sudah terbiasa dengan cara kerja tertentu. Ini sering terjadi ketika aturan, kebiasaan, atau struktur organisasi terlalu mengakar sehingga perubahan dianggap sebagai ancaman, bukan peluang.

Dalam banyak organisasi, terutama pemerintahan, sering terjadi konflik antara generasi lama yang menyimpan banyak memori institusi dan generasi baru yang ingin membawa perubahan (orang lama vs orang baru). Jika keseimbangan tidak dijaga, salah satu dari dua hal bisa terjadi:

  1. Memori lama terlalu dominan → Menghambat inovasi karena “ini sudah aturan mainnya.”
  2. Memori lama dihapus begitu saja → Institusi kehilangan pembelajaran berharga dari pengalaman masa lalu, menyebabkan kesalahan yang sama terulang.

Memori institusi juga menciptakan path dependency menjelaskan bagaimana keputusan masa lalu membentuk pola kebijakan dan struktur organisasi sehingga sulit diubah. Semakin lama suatu kebiasaan atau kebijakan diterapkan, semakin besar “biaya” untuk berubah (sunk cost bias). Ini sering terjadi dalam proyek infrastruktur atau kebijakan strategis yang dirancang berdasarkan asumsi lama.

Jadi memori institusi bisa memberikan aspek positif maupun negatif. Mirip dengan emosi. Dalam buku Daniel Goldman bersama Dalai Lama: Destructive Emotions: A Scientific Dialogue with the Dalai Lama. Emosi itu sebenarnya netral, tetapi menjadi positif dan negatif dilihat dari dampaknya apakah destruktif atau tidak. Ini karena emosi bisa menciptakan hal yang positif (kasih sayang, cinta) namun juga bisa menciptakan hal yang negatif (cemburu bahkan hingga benci).

Memori institusi seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah kekayaan pengalaman yang bisa membantu organisasi dan pemerintahan belajar dari masa lalu. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, memori institusi bisa menjadi belenggu yang menghambat perubahan dan inovasi. Tantangan bagi Indonesia saat ini adalah menemukan keseimbangan antara mempertahankan pengetahuan yang bermanfaat dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam pola yang sama, dengan masalah yang berulang dan kepercayaan publik yang semakin terkikis.

Adakah konteks lain yang malah ingin menghancurkan memori insitusi?

Tapi tahukah anda bahwa ada konteks lain? Dalam konteks tertentu, memori institusi tidak hanya hilang secara alami akibat kelemahan sistem pencatatan atau pergantian kepemimpinan, tetapi juga dihancurkan secara sengaja oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini sering dilakukan untuk menghapus jejak kesalahan, menghindari pertanggungjawaban, atau bahkan menciptakan narasi baru yang menguntungkan kelompok tertentu.

Salah satu alasan utama penghancuran memori institusi adalah untuk menghapus jejak kebijakan yang bermasalah, praktik korupsi, atau keputusan yang salah. Dengan menghilangkan dokumen, data, atau catatan historis, pihak yang bertanggung jawab bisa menghindari akuntabilitas.

Memori institusi juga sering dihancurkan sebagai bagian dari rekayasa sejarah untuk menciptakan citra baru yang lebih menguntungkan bagi suatu rezim atau kelompok. Dengan menghapus rekaman peristiwa tertentu, pihak berwenang bisa merekonstruksi versi sejarah yang lebih sesuai dengan kepentingan mereka.

Memori institusi juga bisa sengaja dihancurkan untuk menghambat regenerasi kepemimpinan atau perubahan yang bisa mengguncang status quo. Ini sering terjadi ketika kelompok lama yang berkuasa ingin memastikan bahwa generasi berikutnya tidak memiliki akses ke strategi, pengetahuan, atau jaringan yang memungkinkan mereka melakukan perubahan.

Beberapa pihak juga menghancurkan memori institusi untuk menciptakan lingkungan yang tidak stabil di mana aturan menjadi tidak jelas, sehingga mereka bisa terus berkuasa tanpa pertanggungjawaban. Dalam kondisi ini, kebijakan dapat dibuat secara arbitrer tanpa ada preseden atau standar yang harus diikuti.

Dalam konteks ini, memori institusi bukan sekadar catatan sejarah, tetapi merupakan fondasi bagi efektivitas pemerintahan dan kredibilitas kebijakan publik. Ketika memori ini sengaja dihancurkan, dampaknya bukan hanya pada hilangnya jejak masa lalu, tetapi juga pada ketidakmampuan kita untuk membangun masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, menjaga dan melindungi memori institusi adalah bagian penting dari membangun pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan publik.

Bagaimana Peran Pimpinan Organisasi tentang Hal ini?

Dalam kontek memori organisasi memang dibutuhkan untuk menjaga efisiensi dan efektivitas organisasi, maka ada beberapa pelajaran penting bagi para pemimpin organisasi—baik di pemerintahan maupun sektor swasta—agar memori institusi bisa menjadi sumber daya strategis. Berikut adalah beberapa prinsip utama yang bisa diterapkan:

  • Banyak organisasi gagal mempertahankan kesinambungan karena informasi penting hanya tersimpan dalam kepala individu dan tidak didokumentasikan dengan baik. Ketika individu tersebut pergi, memori institusi pun hilang.
  • Pengetahuan dalam organisasi sering kali bersifat tacit (tersirat) dan tidak cukup hanya dengan dokumentasi tertulis. Transfer pengetahuan antar individu dan generasi sangat penting agar organisasi bisa berkembang tanpa kehilangan pelajaran dari masa lalu.
  • Memori institusi bisa menjadi jebakan jika organisasi terlalu terpaku pada praktik lama dan enggan beradaptasi dengan perubahan.
  • Dalam beberapa kasus, memori institusi bisa sengaja dihancurkan untuk menghilangkan jejak, menghapus pertanggungjawaban, atau mengontrol narasi sejarah. Pastikan ada mekanisme keamanan data yang mencegah dokumen atau arsip penting dihapus secara sembarangan. Terapkan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi, sehingga publik atau anggota organisasi dapat mengawasi kebijakan dan rekam jejak keputusan. Tetapkan audit berkala terhadap arsip dan dokumentasi untuk memastikan keberlanjutan informasi penting.

Seorang pemimpin yang efektif bukan hanya harus berpikir ke depan, tetapi juga harus mampu mengelola memori masa lalu dengan bijak. Memori institusi yang dikelola dengan baik bisa menjadi sumber daya strategis yang membantu organisasi tetap adaptif, transparan, dan inovatif.

Namun, jika memori institusi dibiarkan hilang, atau lebih buruk lagi, dihancurkan untuk kepentingan tertentu, organisasi akan kehilangan arah, mengulangi kesalahan lama, dan semakin kehilangan kepercayaan dari publik atau anggota organisasinya.

Sebagai pemimpin, Anda memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan antara mempertahankan yang berharga dari masa lalu dan berani berubah untuk masa depan.

Disclaimer: This blog is written using Generative AI support

Sistem harus memiliki Umpan Balik

Di berbagai workshop dan seminar yang saya ikuti, saya sering mendengar bahwa sebuah institusi mengklaim telah menciptakan sebuah sistem ini, sistem itu, yang lebih baik dari sebelumnya. Ada juga yang mengklam bahwa sebelumnya tidak ada sistemnya, sehingga sekarang dengan adanya sistem yang baru dirancang maka akan lebih tertata dst.

Namun yang menarik buat saya dari konsep, rancangan, atau akhirnya di implementasi, sistem tersebut tidak memuat adanya sub-sistem umpan balik. Umpan balik adalah sub-sistem yang seringkali lupa merupakan bagian penting dan memang seharusnya ada dalam sistem. Definisi sistem klasik adalah input proses output umpan-balik. Sehingga ketika sebuah klaim sistem dilakukan, namun ternyata tidak memiliki sub-sistem umpan balik, maka seharusnya tidak bisa diklaim sebagai sistem

Lanjutkan membaca “Sistem harus memiliki Umpan Balik”

Bounded Rationality – Rasionalitas Terbatas dalam Pengambilan Keputusan

Bounded Rationality atau Rasionalitas Terbatas adalah sebuah konsep dalam pengambilan keputusan bahwa kemampuan manusia memiliki keterbatasan dalam mendapatkan dan mengolah informasi. Ini akibat keterbatasan kognitif manusia dan waktu yang tersedia dalam mengambil keputusan. Kemampuan kognitif didefinisikan secara sederhana sebagai kemampuan memproses informasi untuk memiliki makna yang akan membantu proses pengambilan keputusan. Kemampuan ini akan tergantung dari kesehatan fisik, mental, pengetahuan dan pengalaman. Ketika anda lelah secara fisik maka pengambilan keputusan kompleks biasanya menjadi terasa lebih berat, sehingga disarankan untuk menunda mengambil keputusan.

Bounded rationality memberikan rem kuat terhadap konsep ideal dalam pengambilan keputusan tentang informasi lengkap dan sempurna akan menghasilkan keputusan sempurna. Dalam sebuah permasalahan kompleks, informasi lengkap akan menimbulkan timbunan informasi yang luar biasa sehingga pada akhirnya manusia tidak akan sanggup untuk mengolahnya. Secara sederhana, jika anda diminta untuk mengingat sarapan apa pada 249 hari yang lalu, apakah anda mengingatnya? Ini berarti ada keterbatasan dalam kemampuan manusia sehingga banyak informasi yang tidak relevan secara otomatis seperti dihilangkan dari otak kita.

Ini mengapa jika anda berdiskusi dengan orang lain, anda bisa saja seperti berhadapan dengan tembok yg tidak mau bergeser, karena sebenarnya anda berhadapan dengan batasan rasionalitas dari orang tersebut. Anda juga disarankan tidak mengambil keputusan strategis ketika emosional, lelah, kaget atau dalam situasi dimana rationalitas anda menjadi berkurang.

Bounded rationality membuat pengambil keputusan seperti menjustifikasi pengambilan keputusan yang kurang dari ideal dengan memberikan alasan atau konteks yang dianggap benar dan menjadi pengekang dari target ideal. Dan yang seru adalah logika alasan ini akan terlihat masuk akal atau dikenal logis. Padahal belum tentu sama masuk akal bagi anda atau bagi orang kebanyakan namun tetap masuk akal. Karena memang kata masuk akal sendiri kan berarti tergantung akal siapa yg digunakan. Logika juga sama, tergantung logika apa yang dipakai. Sehingga sebenarnya pendidikan formal itu mencoba menguatkan logika bersama universal yg bisa menjamin kemajuan umat manusia. Loh kok jadi kemana-mana, mari kembali ke bounded rationality.

Jadi apa yang sebenarnya kenapa kita perlu memahami bounded rationality? Karena jika anda ingin berdiskusi, mengubah pendapat orang lain, atau tidak baper dalam berkomunikasi, maka perlu disadari bahwa anda dan lawan komunikasi anda bisa jadi memiliki rasionalitas berbeda, sehingga jika hal yang didiskusikan penting, maka anda perlu berstrategi untuk melakukan komunikasi.

Anda harus menyeimbangkan antara bertanya dan berpendapat untuk saling melihat struktur logika rasionalitas anda dan lawan bicara dalam proses dialog secara seimbang. Sering melakukan konfirmasi apakah apa yang anda pahami dari logika dia adalah sesuai dengan yg dimaksud (hindari dulu benar salah). Tawarkan rasionalitas anda kepada lawan bicara dan minta pendapatnya.

Apakah akan selalu sukses? tentu tidak, ini juga yang menjadi aspek dalam bounded rationality, karena keterbatasan yang timbul biasanya terjadi karena sejarah panjang kehidupan lawan bicara kita. Sederhananya yaa sudah diusahakan, berikutnya yaa tinggal didoakan untuk mau berubah.

Emergence (Kemunculan) dan Iterasi dalam Berpikir Sistem

EUREKA! EUREKA! adalah kata yang diteriakkan oleh ilmuwan yunani kuno Archimedes ketika akan mandi lalu muncul pemahaman ketika memperhatikan ketika memasukkan badannya kedalam bak mandi perubahan ketinggian air setara dengan massa badan yang dimasukkan kedalam air. Jika kaki, maka naik sekian, badan naik sekian, seluruh tubuh, naik hingga tumpah dsb. Ide ini telah menjadi sebuah Hukum Archimedes telah menjadi fondasi berbagai aplikasinya contohnya pembuatan kapal modern.

Momen Eureka! sering dicari-cari ketika seseorang mendapat ide dan pemahaman baru terhadap apa yang dipikirkannya. Didalam berpikir sistem, Eureka! adalah sebuah fenomena emergence, yang di bahasa Indonesia dialihbahasakan menjadi kemunculan/munculnya/timbulnya. (catatan: alih bahasa berbeda dengan penterjemahan)

Emergence Jika dikontekstualisasi dalam berpikir sistem dapat didefinisikan sebagai munculnya pemahaman yang menyeluruh terhadap kompleksitas akibat kesisteman suatu permasalahan yang berbeda dari pemahaman awal atau umum yang biasa didapatkan tanpa memandang permasalahan sistem. Panjang ya definisinya. Karena memang kita sering terjebak dalam pemahaman pertama dari sebuah permasalahan, padahal pemahaman pertama tersebut biasanya tidak utuh atau tidak menyentuh akar permasalahan yang harus diselesaikan.

Photo by Brett Jordan on Unsplash

Di kelas Magister Teknik Industri UI, saya mengilustrasikan hal ini dengan menyajikan video youtube tentang optical illusions, lalu berdiskusi pertama bagaimana mata kita sebenarnya melihat dengan bantuan otak kita ketika ingin memahami apa yang ingin kita lihat. Sehingga apa yang kita lihat pertama, tergantung dari apa yang otak kita biasa temui atau proses. Kita perlu menahan pengambilan kesimpulan pertama untuk mencari perspektif lain yang bisa timbul. Berbagai perspektif yang berbeda akan menhasilkan kesimpulan yang berbeda-beda yang biasanya memiliki unsur pembenaran yang bisa dipahami. Pemahaman perbedaan bisa menjadi modal awal untuk memulai proses penguraian masalah untuk mencari solusi sistem terbaik.

Iterasi adalah aktivitas/proses dalam berpikir sistem untuk mencari kemunculan (emergence).

Lanjutkan membaca “Emergence (Kemunculan) dan Iterasi dalam Berpikir Sistem”

Kemana para prediksiawan dan prediksiawati COVID-19?

Masih ingatkah kita ketika para pakar, politikus, para pemimpin Indonesia dan dunia, di tahun lalu, mencoba memprediksi kapan COVID-19 berakhir? Misalnya ada di berita ini, ini atau ini. Beberapa waktu ini kok tidak terdengar kembali para P3 ini melakukan prediksi kembali, padahal tahun lalu begitu yakinnya dikeluarkan dengan mengunakan model-model matematika yang rumit. Bahkan tahun lalu seperti sebuah kompetisi ketika para kampus-kampus besar di Indonesia seperti berlomba-lomba mengeluarkan prediksinya.

All Models are Wrong, but some are useful (George Box) adalah sebuah kredo bagi para modeler ketika menyusun, menganalisa, menginterpretasikan dan menjelaskan hasil simulasi modelnya, terutama jika harus dijelaskan ke publik yang awam. Modeler sebagai ilmuwan memiliki kewajiban untuk menjaga supaya hasil temuannya tidak disalahartikan baik oleh publik atau awak media yang menjadi corong ke publik. Sudah sering terjadi sebuah hasil penelitian secara tidak sengaja, namun lebih sering pula dengan sengaja dibelokartikan untuk kepentingan politik maupun ekonomi. Dalam ekonomi digital, strategi untuk menaikkan click-bait dengan memberikan judul-judul bombastis sudah menjadi kebiasaan dewasa ini.

Berbasis kredo diatas, jadi apa saja yang membuat semua prediksi ini gagal?

Lanjutkan membaca “Kemana para prediksiawan dan prediksiawati COVID-19?”

Mengubah Pola Berpikir menjadi Berpikir Sistem dengan pendekatan berbasis Model

Pada tanggal 27 Maret 2021, saya dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Universitas Indonesia di Bidang Teknik Industri. Acara ini disiarkan secara online mempertimbangkan pandemi yang masih berlangsung. Didalam pidato pengukuhan saya, saya menyoroti sebuah cara mendefinisikan berpikir sistem yang berbeda dari definisi saat ini yang menggunakan (a) membedakan pola berpikir biasa dan pola berpikir sistem dengan ciri-ciri pembedanya dan (b) kombinasi dari teknik berpikir logis, kritis dan lain. Saya menyoroti bagaimana jika berpikir sistem bisa menggunakan definisi berpikir dan sistem, lalu dengan menggunakan cara pandang terhadap pola yaitu sebagai kerangka kerja.

Pendekatan ini saya beri nama Model-Based Systems Thinking. Konsep ini saya kenalkan video pidato pengukuhan saya dapat ditonton di youtube dan saya letakkan embedded di dalam halaman blog dibawah ini.

Video Pidato Pengukuhan GB Akhmad Hidayatno

Pidato online hanya membolehkan waktu pidato selama 15 menit, sehingga mohon maaf jika dalam video diatas terkesan sangat singkat. Saya juga lampirkan naskah pidato yang mungkin anda tertarik untuk membacanya. Secara materi saya mengembangkan Model-Based Systems Thinking sebagai sebagai softside dari Dukungan Model terhadap Proses Penguraian Masalah pada kompleksitas yang timbul pada Skala Mikro dan Skala Makro. Skala mikro adalah pengambilan keputusan Model-Based Decision Making dan Skala makro adalah pengambilan kebijakan atau Model-Based Policy Making.