Masih ingatkah kita ketika para pakar, politikus, para pemimpin Indonesia dan dunia, di tahun lalu, mencoba memprediksi kapan COVID-19 berakhir? Misalnya ada di berita ini, ini atau ini. Beberapa waktu ini kok tidak terdengar kembali para P3 ini melakukan prediksi kembali, padahal tahun lalu begitu yakinnya dikeluarkan dengan mengunakan model-model matematika yang rumit. Bahkan tahun lalu seperti sebuah kompetisi ketika para kampus-kampus besar di Indonesia seperti berlomba-lomba mengeluarkan prediksinya.
All Models are Wrong, but some are useful (George Box) adalah sebuah kredo bagi para modeler ketika menyusun, menganalisa, menginterpretasikan dan menjelaskan hasil simulasi modelnya, terutama jika harus dijelaskan ke publik yang awam. Modeler sebagai ilmuwan memiliki kewajiban untuk menjaga supaya hasil temuannya tidak disalahartikan baik oleh publik atau awak media yang menjadi corong ke publik. Sudah sering terjadi sebuah hasil penelitian secara tidak sengaja, namun lebih sering pula dengan sengaja dibelokartikan untuk kepentingan politik maupun ekonomi. Dalam ekonomi digital, strategi untuk menaikkan click-bait dengan memberikan judul-judul bombastis sudah menjadi kebiasaan dewasa ini.
Berbasis kredo diatas, jadi apa saja yang membuat semua prediksi ini gagal?
Over-simplification. Model adalah simplifikasi dari dunia nyata yang kompleks, sehingga banyak variabel yang dihilangkan supaya model bisa berjalan. Sebuah model matematika yang kompleks membutuhkan kekuatan komputasi yang super-power, sehingga pengurangan variabel menjadi salah satunya. Model-model acuan yang dipakai oleh para epidemiolog atau matematikawan berbasis kepada model dengan variabel terbatas yang dalam kondisi tahun 1950 mungkin tepat. Ini adalah tahun sebelum adanya pegerakan manusia antar benua. Lalu mengapa kok masih dipakai dan berani dipublikasikan? Entahlah…
Under-data-feed. Jika kita bicara Indonesia, maka kelemahan utama kita sebagai negara besar dan kepulauan adalah data yang akurat dan reliable. Data produksi beras misalnya, sudah berpuluh-puluh tahun kok tidak pernah bisa reliabel. Sistem kependudukan e-ktp yang sebenarnya menjadi fondasi untuk mendapatkan data reliabel tentang kondisi penduduk Indonesia, menjadi masalah hukum, karena berdana besar. Namun dana besar ini menunjukkan begitulah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan data akurat dan rutin. Semua model akan bergantung kualitasnya terhadap kualitas dan kuantitas data yang dimasukkan. Apalagi yang suka memberikan cap data-driven model supaya lebih keren modelnya. Untuk Indonesia, pada skala model kebijakan, data-driven means wrongfully-driven.
Over-useful. Sebuah model disusun untuk tujuan tertentu. Tujuan ini biasanya spesifik dengan memiliki asumsi dasar interaksi antar-variabel yang berbasis kepada tujuan ini. Ilustrasi sederhana adalah ketika anda proses mendekati pasangan (tujuan anda), interaksi anda dengan kawan-kawan anda akan menyesuaikan prioritasnya supaya anda mendapatkan tujuan anda. Pakar sering terjebak untuk memberikan penjelasan hasil simulasi diluar dari kemampuan dan tujuan modelnya tanpa menjelaskan bahwa ada asumsi dalam penjelasannya.
Jadi kalau begitu kita tidak usah percaya dong terhadap model-model para pakar ini? Lebih baik atau sama saja kita ke dukun saja kalau begini?
Kembali ke kredo diatas, jika anda mencari prediksi akurat, karena kita memang hanya manusia biasa, maka yaa tidak mungkin kita melakukan prediksi yang akurat. Ada sebuah gurauan tentang kemampuan prediksi manusia: “You want to make God Laugh? Tell him your plan/prediction!”. Sebenarnya di keseharian kita, kita sudah banyak menggunakan prediksi. Jika anda berbelanja di supermarket, bisa bayangkan jika tidak ada prediksi, maka banyak barang yang anda butuhkan akan tidak tersedia, karena supermarket tidak melakukan prediksi kebutuhan pelanggannya. Bayangkan jika setiap produsen, suplier dan toko barang harus menggunakan jasa dukun untuk melakukan produksi atau distribusi, bisa ada jabatan baru “CDU”= Chief Dukun Officer.
Jadi model akan berguna untuk memberikan gambaran masa depan, bukan foto masa depan bahkan film masa depan. Gambar ada yang abstrak, ada yang realistis. Dalam batasan ini, maka kegunaan dari model harus dipahami akan memiliki keterbatasan dan tidak bisa dipukul rata untuk semua model. Contoh kegunaan model yang lebih realistis adalah melakukan prioritasi kebijakan yang tidak membutuhkan akurasi tinggi. Sebagai contoh, sudah pasti Indonesia harus memprioritaskan ketahanan biologis dengan menciptakan vaksin sendiri, karena gambaran masa depan mensyaratkan demikian. Kita harus bergerak cepat membangun fasilitas dan kemampuan dengan menyisihkan dana cukup besar untuk itu. Ketahanan nasional dengan memindahkan ibukota ke area bebas gempa juga penting secara jangka panjang, tapi apa arti ibukota jika kita terus-menerus dihantam oleh serangan virus dan tergantung kepada negara lain untuk bertahan.
Media Indonesia juga harus belajar dari media luar negeri dalam memberikan informasi yang lebih mendewasakan dalam interpretasi terhadap model. Sebuah prediksi model janganlah hanya dikutip dari penjelasan kesimpulan modelernya, walaupun ini cara paling aman untuk memberitakan sesuatu. Kan jika salah, yang salah yang mengucapkan, bukan yang memberitakan. Namun paling tidak mohon memasukkan 3 hal: mencantumkan ilustrasi proses dan batasan dari model, sebuah peringatan untuk berhati-hati mengartikan kesimpulan dari model dan mengajak pembaca untuk aktif mencari informasi tambahan.
Para ilmuwan juga memiliki tanggung jawab bahwa mereka menjadi figur publik untuk mendapatkan informasi yang berbasis proses analisa ilmiah dan fakta yang bebas dari kepentingan lain selain kepentingan kebenaran. Sebagai figur publik, tidak bisa kita berlindung kepada bahwa kita bisa salah seperti yang terjadi dalam kehidupan akademik. Karena di saat ini, sebuah berita permintaan maaf lebih tidak populer dibandingkan kesalahan yang dibuat, dan kesalahan awal sudah menimbulkan kerusakan. Jangan membiarkan adanya keraguan yang sering diciptakan untuk kepentingan mengaburkan kebenaran yang biasanya timbul akibat kepentingan politik atau kepentingan ekonomi. Sebuah siaran dokumenter dari Stasiun Berita Jerman DW yang menarik tentang hal ini bisa anda lihat di Youtube yang judulnya dapat diterjemahkan sebagai “Memproduksi Ketidakpedulian: Ketika kita tidak lagi bisa mempercayai ilmu pengetahuan ” dibawah ini
