Pemodelan Pandemic: Kebutuhan Ilustrasi atau Kebijakan

Image by congerdesign from Pixabay

Dalam beberapa waktu terakhir, banyak diskusi yang timbul dan menyinggung mengapa kok lab kami tidak menyusun model yang bisa membantu memprediksi berbagai macam dampak kebijakan dari pencegahan pandemic corvid-19, seperti lock-down, pembatasan, social distancing dsb di Indonesia. Kami sudah berdiskusi berat tentang hal ini yang mempertimbangkan beberapa hal berikut:

  1. berbagai kemungkinan pertanyaan kebijakan terhadap dampak (apakah berat di sisi ekonomi, epidemiologis, dst)
  2. alternatif jawaban awal dari pertanyaan kebijakan sebagai tujuan dari model
  3. pendekatan pemodelan, simulasi dan skenario yang bisa dilakukan (heuristik, stochastic, system dynamics dan agent based modeling),
  4. kebutuhan data akurat dan tervalidasi untuk membangun model tersebut,
  5. kebutuhan asumsi logis untuk mengisi ketidak-tersediaan data (yang merupakan masalah pemodelan klasik di Indonesia),
  6. siapa saja pakar yang seharusnya bergabung didalam tim pemodelan karena ini mencakup masalah urbanisasi, epidemiologis, manajemen rumah sakit (kapasitas penyembuhan), politik, ekonomi, industri kesehatan dan pakar-pakar lainnya.
  7. waktu pengembangan untuk menghasilkan model yang purposeful menjawab pertanyaan kebijakan tersebut,

Tentunya para rekan yang meminta, juga menunjukkan berbagai model “ilustrasi” yang diberikan di berbagai media yang menurut mereka seharusnya kami bisa menyusunnya dalam konteks Indonesia. Tentunya kami bisa, namun model-model tersebut adalah model ilustrasi, yaitu sebuah model berbasis kepada data dan asumsi umum dengan tujuan mengedukasi, bukan untuk menjawab kebutuhan kebijakan. Sebuah model untuk menjawab kebutuhan kebijakan tidak hanya berdasarkan edukasi, namun juga harus berdasarkan data yang kuat. Mengapa? Karena seharusnya, sebuah kebijakan diambil berdasarkan asumsi logis dan data yang timbul, jangan karena politik dan emosi.

Di kelas Pemodelan Kebijakan Teknologi kami mengajarkan Epidemic SQIR Game sebagai fondasi dalam mengajarkan konsep pemodelan sistem dinamik. Epidemic game dimulai dengan menunjuk secara rahasia satu orang sebagai pasien terinfeksi yang memiliki kemungkinan (direpresentasikan dengan lemparan koin) untuk menginfeksi orang lain. Semua peserta kelas kemudian diminta berdiri dan bergerak bebas, dimana secara rutin akan distop dan mereka diminta untuk menjabat tangan orang lain yang terdekat. Orang lain yang belum terinfeksi, bisa memiliki kekebalan tubuh yang juga dihubungkan dengan lemparan koin. Mereka memilih “head”/”tails” dari koin yang merupakan representasi dari kekuatan kekebalan tubuh mereka. Orang yang terinfeksi, jika memiliki kode sama dengan koin, akan memberikan virus ke orang lain dengan menggunakan kode jabatan tangan khusus. Yang menerima jabat tangan khusus ini juga memiliki kemungkinan untuk tidak tertular, jika kode dia tidak sama dengan koin.

Game ini kemudian dibahas dalam sebuah model sistem dinamis untuk dicari intervensi kebijakan apa yang bisa: (1) flattening the curve (2) reduce peak time (3) quick recovery, yang mencakup apa yang sedang dilakukan pemerintahan di dunia ini. Intervensi seperti karantina, vaksinasi, pembatasan sosial, dicari dampaknya dari publikasi ilmiah kemudian dimasukkan nilainya kedalam model. Sehingga Game ini cukup powerful sebagai ilustrasi bagi para mahasiswa, namun apakah cukup mendukung pengambilan kebijakan?

Mempertimbangkan 7 hal diatas maka kami memutuskan untuk tidak ikut dalam proses pemodelan epidemis ini, karena kami tidak bisa menggaransi ke-7 aspek ini. Dalam kondisi kompleksitas multidimensi seperti ini ketika sebuah model dilahirkan hanya dari satu dimensi saja sebenarnya tidak tepat. Ini karena berarti hanya menggunakan satu dimensi asumsi, misalnya asumsi matematis, apalagi jika dibangun dari pengalaman negara lain. Mengapa? Ini beberapa hal yang sempat kami diskusikan:

  1. Indonesia negara kepulauan, epicentrum Jakarta akan dikejar demi multi-centrum daerah lain. Jadi ketika sebuah angka menunjukkan Indonesia? Bisa jadi sebenarnya angka Jakarta… karena bisa saja Jakarta turun kemudian akan dikejar oleh daerah lain
  2. Time Zero, kapan sebenarnya time zero Indonesia, 1 Maret kah, atau Awal Februari?
  3. Pasien Positif. Apakah positif pasien adalah kondisi riil? karena kita belum melakukan secara masif seperti seharusnya dalam melakukan hal ini
  4. Kapasitas Kesehatan. Infrastruktur rumah sakit Indonesia sedang menyesuaikan dengan program BPJS, jadi apakah memiliki kapasitas cukup untuk menarik kondisi puncak nantinya.
  5. CORVID19 adalah sama namun berbeda, seseorang bisa menjadi carrier penyakit ini tanpa menunjukkan gejala apapun. Setuju bahwa Kanker, TBC, Malaria dsb telah merenggut lebih banyak nyawa, tapi orang yang sakit seperti ini kan biasanya tidak kemana-kemana, dan sadar kalau dirinya sakit.

All Models are Wrong, Some are Useful

Terakhir saya diingatkan kembali tentang semboyan diatas yang diberikan oleh pakar dunia pemodelan sistem dinamis, yaitu semua model kan pada akhirnya pasti salah, namun ketika sudah berhasil memberikan ilustrasi, jawaban sementara, kan berarti sudah berguna. Jadi kenapa kok tidak dikerjakan saja?

Karena kami bukan pakarnya, seorang modeler membutuhkan waktu untuk memahami sistem utuh yang sedang dia modelkan. Dia akan mencoba mendalami proses yang terjadi, komponen dari sistem, konektivitas antar sistem dan variasi konteks dimana sistem tersebut akan bekerja. Hal ini didapatkan dari membaca publkasi, berdiskusi dengan pakar, group based model building, dsb. Pandemic adalah sebuah sistem kompleks multi-dimensi, maka dibutuhkan tim multi-dimensi untuk berdiskusi pula untuk mendapatkan tingkat minimal kegunaan (usefulness) dari model tersebut. Satu dimensi tidak akan cukup mencapai ini.

Tinggalkan komentar