Responsible Innovation

Memenuhi undangan untuk menjadi ko-promotor dan penguji dalam Sidang Terbuka di TU Eindhoven Belanda beberapa waktu lalu, telah mengingatkan saya tentang salah satu pengembangan topik pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yaitu tentang inovasi yang bertanggung jawab (Responsible Innovation atau RI). RI , atau dikenal pula sebagai Responsible Research and Innovation (RRI), salah satunya didefinisikan sebagai proses riset dan inovasi yang mempertimbangkan tidak hanya dampak ekonomi, namun juga dampak sosial dan lingkungan, baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Ini berarti inovasi tidak hanya harus berbasis kepada pasar (market-based innovation), tapi juga memiliki tanggung jawab lebih terhadap sosial manusia dan lingkungan.

Inovasi sendiri didefinisikan sebagai pengenalan sesuatu hal yang baru secara relatif terhadap komunitas tujuan dari inovasi tersebut. Sehingga penggunaan BBG atau mobil listrik, sebagai bentuk inovasi, mungkin bukan hal yang baru di negara maju, tetapi merupakan hal yang baru di negara berkembang. Internet bukanlah inovasi di kota besar di Indonesia, tetapi merupakan inovasi di desa yang belum mengenalnya.

Penjabaran inovasi yang tidak bertanggung jawab (responsible) adalah prasyarat dari kegagalan adopsi dari inovasi tersebut. Dengan tidak mempertimbangkan resistensi dari manusia (sosial) dan dampak negatif yang mungkin muncul di lingkungan, maka sebuah inovasi bisa gagal untuk dilaksanakan seusai target awal. Sehingga proses Responsible Innovation merupakan proses preventif dan iteratif yang melibatkan diskusi dengan stakeholders untuk memetakan berbagai kemungkinan dampak yang timbul dan cara mengatasinya. Dengan demikian, sejak awal proses inovasi telah secara lengkap mencakup penanganan kemungkinan kegagalan.

Untuk itu Kerangka Kerja RI biasanya terdiri atas 5 hal yaitu: anticipation, reflexivity, responsiveness, deliberation, and inclusiveness yang pada intinya ingin membangun “tanggung jawab” terhadap inovasi.

Anticipation atau antisipatif adalah sebuah proses proyeksi proaktif terhadap dinamika yang membentuk dan menjabarkan inovasi ke sebuah komunitas untuk melihat peluang dan tantanan penjabaran inovasi tersebut.

Reflexitivy atau kemampuan umpan balik refleksi adalah kemampuan pelaksana inovasi untuk mengevaluasi batasan kemampuan, komitmen, asumsi, tata nilai dan kepercayaan dalam menjabarkan inovasi dan bagaimana semua hal ini menjadi umpan balik sebagai bentuk tanggung jawab pelaksana inovasi. Sehingga tidak timbul, “lha ini bukan tanggung jawab saya”

Responsiveness atau kemampuan mengubah adalah ruang hak dan kewajiban dimiliki untuk mengintervensi penjabaran inovasi. Anda akan lebih bertanggungjawab kepada sebuah kegiatan ketika anda memiliki hak dan kewajiban terhadap kegiatan tersebut.

Deliberation adalah sebuah proses diskusi aktif antara berbagai stakeholders inovasi secara obyektif, seimbang dan patut untuk melihat berbagai cara pandang tentang tanggung jawab dari penjabaran inovasi. Proses diskusi yang sehat akan menghasilkan dan menggabungkan berbagai pengalaman, pemahaman dan pengetahuan dari para stakeholders, sehingga semua kemungkinkan dapat dihasilkan.

Inclusiveness adalah pengikutsertaan semua stakeholders dalam proses pertanggungjawaban inovasi sehingga secara utuh didapatkan seluruh atau sebagian besar peran dan tanggung jawab dari setiap stakeholders dalam proses inovasi nantinya.

Kelima kerangka kerja ini bersifat kualitatif melalui FGD, kuesioner, Q-methodology atau AHP, dan bisa saja dibantu secara kuantitatif dengan menggunakan model komputer untuk mendapatkan landasan yang lebih konkrit dalam memproyeksikan masa depan.

Tinggalkan komentar