
Pagi ini membaca sebuah artikel tentang mogoknya LRT di Sumatera yang terjadi yang terjadi sering dalam satu minggu kembali mengusik kenangan diskusi di masa lalu di PT MRT Jakarta tentang pentingnya perspektif rekayasa sistem untuk meningkatkan kesiapan operasional bahkan dalam sebaiknya sudah dimulai dengan fase konstruksi.
Ketika sebuah sistem kompleks dibangun maka sebuah ciri sistem akan mengemuka, yaitu kumpulan dari komponen terbaik belum tentu menghasilkan sebuah sistem terbaik, terutama jika tingkat konektivitas sistem tinggi. Yang dimaksud dengan tingkat konektivitas adalah secara kuantitas (prosentase setiap komponen terkoneksi dengan yang lain) dan kualitas (ketika koneksi yang terjadi didesain atau tidak disadari mampu membuat sistem berhenti).
Dalam kasus LRT diatas, sebuah door sensor didesain untuk menghentikan kereta karena berbasis keselamatan penumpang, jangan sampai ada yang bisa meloncat ketika kereta sedang berjalan. Namun, semoga door sensor itu tidak dimatikan, karena dianggap malah mengganggu operasional kereta dan dianggap tidak penting. Sesuatu kebiasaan di negara kita untuk mencari quick fix daripada masuk korang terus menerus (ini juga gejala permasalahan sistem).
Rekayasa sistem secara sederhana adalah sebuah komitmen untuk menselaraskan konektivitas sistem sejak dari perancangan, mengawalnya ketika operasional, serta memperbaiki rancangan berikutnya melalui pengalaman operasional. Di organisasi membuat sebuah tim khusus yang multi-bagian dan multi-disiplin untuk melakukan proses ini dengan menggunakan manajemen resiko dalam memetakan kemungkinan berbagai aspek kegagalan. Lanjutkan membaca “LRT dan MRT … dan Rekayasa Sistem”
