Failing to Plan is Planning to Fail

Gagal memiliki rencana berarti Merencanakan untuk gagal.

Sebuah kutipan untuk pergantian tahun 2013 ini, yang menurut temen saya namanya sedang diusulkan menjadi 2012A karena takut 2013 mengandung angka sial 13, mengacu kepada kebiasaan gedung-gedung tinggi di Indonesia yang mengganti dan menghilangkan nomor-nomor lantai gedung yang dianggap tidak hoki atau sial (seperti 4 menjadi 3A, dan 13 menjadi 12A, atau tidak ada sama sekali). Walaupun ternyata ada temen saya lagi yang asli insinyur mengatakan berbahaya menjadi 2012A, karena kalau iya bisa jadi ramalan Maya tentang kiamat masih berlaku, karena biasa lah, khan ramalannya sudah lama banget, plus-minus toleransi harusnya ada. Lha wong merancang beban lift saja ada toleransi sampai 200% seandainya ada hubungannya dengan nyawa manusia.

Tapi saya sebenarnya mau membahas hal yang lain, yang saya dapatkan pagi ini ketika melihat acara gosip di TV tentang jawaban para artis kita tentang rencana tahun depan menyambut pergantian tahun malam ini, ada yang mengatakan “going with the flow”, yaitu pendapat bahwa sudahlah tidak usah berencana apa-apa, ikuti saja. Pendapat ini seolah mewacanakan bahwa buat apa ada rencana, toh belum tentu bisa dilaksanakan.

Lanjutkan membaca “Failing to Plan is Planning to Fail”

Hati-hati dengan Kontras tanpa basis Data

Saya sangat suka memperhatikan gaya orang membangun dan menyampaikan argumennya. Sebagai pengajar manajemen kualitas, saya sering kebingungan menghadapi rapat orang Indonesia, yang kebanyakan berdiskusi, berdebat bahkan bisa emosional tetapi bukan berlandaskan kepada data atau fakta, namun kepada asumsi dan persepsi. Masih mending jika asumsi diambil dari data.  Lebih sering asumsi diambil dari logika atau persepsi umum (common perception) yang suka melupakan ada konteksnya.

Logika tanpa fakta lebih berbahaya, karena biasanya akan lebih menyakinkan kebenarannya.

Logika berbasis kepada data bisa terasa kurang seru, karena bisa jadi ada beberapa bagian yang berlubang akibat data yang kurang lengkap, sehingga tidak bisa diambil keputusan. Lebih enak kalau tanpa fakta, karena lebih gurih dan lebih imajinatif. Lihat saja kesukaan pemirsa TV Indonesia terhadap acara gosip. Baik acara gosip beneran atau acara gosip terselubung (acara berita/news).

Derajat Kontras Hitam Putih
Derajat Kontras Hitam Putih

Kontras adalah cara yang paling mudah untuk membandingkan. Mata kita dilatih untuk lebih menangkap perbedaan warna yang memiliki kontras yang berbeda. Sehingga otak kita juga terlatih untuk melakukan versus (vs) dan or (atau). Yang sering saya dapatkan ketika pemilihan kandidat misalnya adalah fokus kepada kontras antara kandidat A vs kandidat B. Strateginya biasanya dua: SAMA atau BEDA/UBAH. Bagi yang pokoknya beda, nggak penting apakah perbedaan itu akan bisa diaplikasikan berdasarkan data yang ada, sehingga sebenarnya hanya sekedar janji saja. Bagi yang ubah, nggak penting apakah perubahan menjadi lebih baik atau tidak, yang penting berubah. Semuanya lebih sering tanpa data. Bagaimana prestasi calon pemimpin tersebut? Apa ukuran obyektif untuk mengukurnya? Lanjutkan membaca “Hati-hati dengan Kontras tanpa basis Data”

Manajemen Jalan-Jalan – Gemba – Management by Walking Around

Judul manajemen jalan-jalan merupakan terjemahan bebas dari konsep management by walking around (MWA) yang pertama kali saya baca dilakukan oleh duo Hewlett & Packard, para pendiri produsen komputer HP. Pada masa pertumbuhan HP, duo pendiri ini sering berjalan-jalan ke lantai produksi dan operasi untuk berdiskusi langsung dengan insinyur, desainer produk, dll. Konsep manajemen ini untuk memotong penyakit perusahaan yang besar yang biasanya memiliki alur komando pengambilan keputusan yang panjang, sehingga bisa lebih responsif terhadap keinginan pelanggan atau peluncuran produk baru.

Konsep ini juga ternyata ada dalam kualitas yang disebut dalam bahasa jepang sebagai Gemba, lihatlah masalah pada tempatnya. Secara tersurat, kita diminta turun ke lokasi permasalahan untuk memahami permasalahannya secara langsung. Namun yang lebih penting lagi, secara tersirat, lihatlah masalah dalam konteksnya. Pemahaman Kontekstual bisa mencakup dimensi ruang lokasi, waktu, fungsi atau skala.

Ada trend baru politik Indonesia dengan konsep yang mirip dengan MWA atau Gemba. Di politik saya dengar namanya adalah Retail Politics, yaitu sebuah proses mencari suara dengan datang ke kantong-kantong suara secara langsung dan “menyapa warga”. Kalau di Amerika, secara sejarah ternyata memang ada beberapa negara bagian atau provinsi yang “mewajibkan” kandidat presiden untuk melakukan ini, baik secara pribadi atau melalui sukarelawan yang mengetuk pintu untuk berkampanye. Mereka tidak peduli program kerja, artis, facebook, twitter selama belum ketemu langsung maka mereka tidak akan memilih. Memang terlalu dini dalam sejarah demokrasi Indonesia untuk mengetahui apakah hal ini juga berlaku, namun sementara ini kesimpulan umum saya, kita suka hal yang “beda”. Terkadang ndak peduli bahwa beda belum tentu lebih baik. Dulu presiden ndak suka ngomong, sekarang suka yang curhat, nanti berikutnya mungkin ndak ngomong lagi. Lanjutkan membaca “Manajemen Jalan-Jalan – Gemba – Management by Walking Around”

Perspektif Korupsi di Teknik Industri sebagai Waste dalam Lean Thinking

Ketika saya sedang membangun model sistem dinamis pembangunan berkelanjutan untuk Indonesia, ada satu konstanta yang secara elegan diberi nama “budget effectiveness”, yang dihubungkan dengan variabel government spending (belanja pemerintah). Penterjemahan lapangan dari konstanta ini adalah “korupsi”. Tentunya dalam disertasi saya setelah dipertimbangkan dengan seksama akhirnya diputuskan untuk menghilangkan seluruh aspek politik sehingga nilai konstanta yang saya berikan adalah 100%, namun dalam prosesnya saya bertanya-tanya berapa nilai seharusnya yaa apakah 80% (20% korupsi), 75%, 70%, dan 60%. (Jadi ingat masa-masa jadi konsultan pemerintah, yang ternyata berbeda-beda, tidak ada konsensus nasional).

Sebagai Perekayasa Industri, saya menjadi tertarik untuk apakah memungkinkan melihat korupsi dalam kacamata kita, dan sementara ini kacamata yang cocok adalah kacamata ilmu lean thinking (lean management) dengan memandang korupsi sebagai waste. Lean adalah sebuah pola pikir untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi proses sehingga didapatkan aliran yang paling efisien untuk memberikan nilai yang diharapkan oleh pelanggan akhir. Karena berbasis pada pelanggan, maka proses yang dilakukan secara tidak langsung akan efektif. Jadi efisien dan efektif sebagai tujuan akhir perekayasa industri secara bersamaan dapat dicapai.

Nah kalau sebuah korupsi adalah waste, maka apakah dalam tools dan methods yang digunakan dalam lean ada yang bisa dipakai untuk mengatasinya?

Lanjutkan membaca “Perspektif Korupsi di Teknik Industri sebagai Waste dalam Lean Thinking”

Larangan Belok Kiri Langsung di Wilayah Polda Metro Jaya dalam kacamata Teknik Industri

Beberapa waktu yang lalu saya mendengarkan percakapan di radio yang sedang membahas tentang ditegaskannya kembali bahwa belok kiri harus mengikuti rambu. Jadi kita baru boleh belok kiri langsung kalau ada rambu khusus boleh kiri atau traffic lights khusus kelap-kelip kiri maka baru boleh langsung. Jika tidak, maka tidak serta merta langsung. Dendanya nggak tanggung-tanggung sudah “disepakati” yaitu 250rb rupiah.

Tetapi terlepas dari perdebatan soal sosialisasi atau denda yang sudah “dipatok”, saya ingin membahasnya dalam kerangka ilmu teknik industri. Saya jadi teringat tentang artikel yang membahas soal penghematan BBM dari sebuah perusahaan angkutan barang di Amerika yang unik, yaitu dengan melakukan optimasi rute pengirimannya sehingga menghindari sedapat mungkin mesin idle (nyala tapi tidak bergerak) akibat menunggu traffic lights di perempatan jalan. Perusahaan angkutan barang itu UPS namanya (United Parcel Services), konsep ini bahkan dikenal sebagai “UPS always turn right”. Ingat di Amerika, orang mengemudi di sebelah kanan, jadi belok kanan adalah mirip dengan belok kiri disini, dan kebetulan hampir di seluruh negara bagian di Amerika belok kanan boleh langsung. Jadi kebalikannya di Indonesia, yang tidak boleh belok kiri langsung. Lanjutkan membaca “Larangan Belok Kiri Langsung di Wilayah Polda Metro Jaya dalam kacamata Teknik Industri”

Tes 3 Menit

Catatan Awal: Bagi mahasiswa TIUI, Tes 3 Menit yang saya bahas disini bukan konsep ujian yang anda telah anda dengar atau anda lalui, tetapi sebuah konsep pendekatan yang perlu anda ketahui dan kembangkan dalam berkomunikasi tentang masalah dan pemecahan masalahnya.

Tes 3 Menit atau sering dikenal oleh para konsultan sebagai “the 3 minutes elevator test” adalahsebuah konsep agregasi apa yang telah kita dikerjakan dan kita usulkan kepada klien kita seandainya kita hanya diberikan waktu 3 menit. Waktu 3 menit ini diibaratkan adalah waktu yang ada ketika kita naik elevator dari lantai atas tempat presentasi ke tempat parkir klien kita. Illustrasinya begini, jika anda adalah konsultan yang mendapatkan suatu tugas dari klien, setelah sekian bulan bekerja keras untuk mengumpulkan data, interview, mengolah data, mengurusi politik kantor, melalui pembantaian awal pada presentasi awal didepan rekan tim kerja perusahaan, sehingga pada akhirnya anda diberikan kesempatan untuk mempresentasikannya didepan the big boss. Anda sudah bergadang dari kemarin, menyiapkan presentasi lengkap dengan video animasinya, dengan suara stereo surround, dengan lagu jingle dsb, kemudian ketika sang boss masuk ruangan, dan anda sudah siap untuk menunggu diberi waktu, tiba-tiba sang boss, tanpa sempat duduk, meminta maaf kepada semua peserta bahwa presentasi harus ditunda karena dia dipanggil oleh presiden untuk dicalonkan jadi menteri. Boss menyadari bahwa keputusan harus segera diambil, untuk itu dia mengajak anda turun bersama-sama dia ke tempat parkir melalui ke lift pribadinya (elevator). “Saya tidak punya waktu banyak, tolong jelaskan secara singkat apa yang anda usulkan kepada saya, hingga kita sampai ke tempat parkir”

Apa yang anda lakukan?

Lanjutkan membaca “Tes 3 Menit”

Kenapa ada 7 Tools of Quality & 7 New Tools of Quality?

7 Tools of Quality dan 7 New Tools of Quality merupakan kumpulan alat-alat yang dipakai dalam manajemen kualitas yang biasanya digunakan bagi yang menerapkan metodologi 7 Steps of Quality Improvement (jadi 7-7-7), seperti jenis pesawat penumpang merk Boeing. Di Indonesia, dikenal istilah TULTA (Tujuh Langkah Tujuh Alat)

Sebenarnya pengelompokan ini beraneka ragam, untuk metodologi Six Sigma, pengelompokan alat dikenal 2 kelompok, basic statistical tools dan advanced statistical tools. Dalam kelompok-kelompok tersebut juga terdapat 7 tools of quality dan 7 new tools of quality, hanya terkadang diberi nama berbeda. Dalam buku Quality Toolbox yang dikeluarkan oleh ASQ, diidentifikasi lebih dari 100 tools yang bisa digunakan untuk melakukan peningkatan kualitas.

Konsep alat (tools) adalah membantu langkah-langkah penerapan metodologi, jadi ketika anda sedang melakukan urutan langkat tertentu, apa yang anda butuhkan dapat disediakan dari hasil sebuah alat atau kombinasi beberapa alat.

Bayangkan anda ingin membuat sebuah lemari kayu langsung dari pohon didekat rumah anda. Anda tentunya merencanakan terlebih dahulu langkah-langkah yang harus dilakukan. Misalnya kita sederhanakan menjadi 3 langkah utama (1) desain lemari kayu (2) mendapatkan bahan dan material setengah jadi (3) merakit lemari kayu. Langkah (1) desain lemari kayu, tentunya anda perlu tahu untuk apa lemari tersebut, sehingga anda bisa saja menggunakan check-sheet, questionnaire, focus group discussion untuk mendapatkan dasar desain lemari kayu tersebut. Anda juga akan butuh meteran, pensil, dsb untuk membuat gambarnya. Langkah (2) anda membutuhkan tali, gergaji, kapak, dsb untuk mendapatkan kayu papan dan bentuk kayu lainnya untuk membuat lemari. Langkah (3) anda butuh palu, kuas dsb untuk menyelesaikan lemari kayu tersebut.

Lanjutkan membaca “Kenapa ada 7 Tools of Quality & 7 New Tools of Quality?”